home.snafu.de |
Papua adalah daerah konflik. Salah satu penyebab utamanya
adalah kekayaan sumber daya alam. Kepentingan ekonomi dan politik dalam
eksploitasi alam dan sumber dayanya berarti bahwa militer dan intelijen selalu
menempatkan diri di Papua. Kenyataan ini mencegah kebebasan mobilitas. Penduduk
Papua terdakwa sebagai separatis, dan aktivis lingkungan berisiko dianggap
sebagai pendukung separatis. Ini adalah ancaman serius untuk kehidupan dan
badan dari para aktivis.
Akibat dari konflik tersebut suasana ketakutan dan
ketidakpercayaan selalu muncul. Orang seringkali tidak berani untuk menolak
atau mengorganisir. Kepercayaan dari keduabelah pihak (masyarakat setempat dan
pemerintah RI) hanya dapat dibangun dengan semangat penuh secara
perlahan-lahan.
Kemiskinan penduduk di satu sisi dan kekayaan sumber daya di
sisi lain berarti bahwa banyak juga orang Papua sendiri yang terlibat dalam
korupsi. Kaum elit di Papua telah dibentuk untuk ikut mengobral tanah Papua
kepada industri kayu dan perusahaan kelapa sawit. Masalah dan resiko yang lain
adalah: Kekurangan infrastruktur di daerah yang sangat besar. Perjalanan atau
transportasi relatif mahal, butuh waktu lama dan sangat sulit.
Hutan terakhir di Asia Tenggara berada di Papua. Namun
keadaannya sangat terancam oleh penggundulan hutan, pertambangan dan
perkebunan. Sementara 80% dari populasi masyarakat Papua masih tergantung
sepenuhnya dari hutan dan sebagian masyarakat masih hidup sebagai pemburu dan
peramu. Dalam beberapa tahun terakhir, mereka banyak kehilangan tanah
tradisionalnya. Hilangnya hutan punya dampak yang kuat pada masyarakat, karena
hilangnya hutan menghancurkan mata pencaharian mereka. Lahan berburu hilang,
sungai yang mengering, sehingga mereka hampir tidak mendapatkan ikan, dan
dengan demikian masyarakat semakin miskin.
Sejak 2007 serbuan industri perkebunan di tanah Papua dimulai,
dengan tujuan produksi tanaman yang akan digunakan untuk energi dan
transportasi. Masyarakat adat Papua sangat terdesak oleh perkembangan yang
pesat sekarang ini. Mereka kehilangan akses mengunakan tanah mereka
selama-lamanya. Masalah terbesar dalam sengketa atas tanah adalah hak atas
tanah yang tidak dijamin oleh negara.
Gerakan untuk menyelamatan hutan dan hak-hak masyarakat adat
oleh karena banyaknya permasalahan belum terbentuk sama sekali. Penyebab
utamanya adalah lapisan masyarakat yang menolak perusakan hutan, eksploitasi
sumber daya alam dan rancangan ekspansi ekonomi yang tidak memiliki peluang
oleh karena kekuatan bisnis, politik dan militer. Juga oleh karena itu
masyarakat adat dan LSM di Papua terlalu lemah untuk menentang rencana ekspansi
industri sawit. Selain itu, LSM internasional dan LSM Indonesia hampir tidak
terlihat di Papua.
Masalah lainnya adalah perjanjian antara pemerintah dan
pengusaha pada umumnya dilakukan tanpa konsultasi, keterlibatan, dan
persetujuan dari masyarakat setempat. Karena itu protes sering terhambat,
dibungkam atau dijawab dengan kekerasan.
Tanah dan Hutan Papua telah terbagi-bagi seperti ‚KUE’
Sepuluh tahun yang lalu, pada akhir rejim Suharto, Papua masih
padat hutan dibandingkan dengan daerah-daerah yang lain di Indonesia. Setelah
Suharto mengundurkan diri (1998), Papua ditimpa oleh mafia liar dalam mencari
kayu tropis, dan Papua menjadi wilayah utama operasi mafia kayu internasional.
Hutan Papua telah menjadi medan konflik antara kepentingan nasional dan lokal,
dan konflik-konflik pasti akan berlangsung dalam waktu panjang. Bahkan tidak
pernah akan ada penyelesaian secara tuntas.
Sejak tahun 2001, Papua dibagi ke dalam beberapa kabupaten
dalam rangka otonomi khusus. Segera setelah pembagian tersebut banyak
perusahaan kayu memasuki Papua. Tahun 2001, Departemen Kehutanan mensahkan
konsesi penebangan (HPH, Hak Pengusahaan Hutan) kepada 54 perusahaan baru.
Perusahaan-perusahaan tersebut membagi-bagi Papua dibawah sepengetahuan mereka
sendiri. Mereka bersama-sama menguasai sepertiga dari luas total wilayah Papua.
Menurut data pemerintah, HPH lebih dari 14 juta hektar dialokasikan kepada
perusahaan kayu: diantarnya di daerah Kepala Burung, di wilayah sekitar Teluk
Bintuni, di wilayah Utara, dan di wilayah Selatan di kabupaten Boven Digul dan
Mappi. Pengecualian berlaku hanya di daerah daratan tinggi. Hampir satu juta
hektar berada di tangan industri kertas, dan lebih dari setengah juta hektar
milik perusahaan perkebunan. Ditambah lagi ada beberapa konsesi untuk
pertambangan. (lihat juga peta HPH di
http://www.papuaweb.org/gb/peta/fwi/05.jpg). Izin konsesi lahan menunjukan
bahwa untuk Industri kayu (HPH), 14.410.351 ha; Industri kertas (HTI), 916.397
ha; dan Perkebunan (HGU), 570.497 ha. Hal ini menunjukkan bahwa tanah dan hutan
Papua dibagi-bagi seperti ‘kue, atas nama pembangunan. Pertanyaannya adalah masyarakat
adat pemilik hak itu dapat apa dari ‘kue’ yang dibagi-bagi itu?
Pembagian „kue Papua“ berdasarkan HPH mempunyai beberapa
dampak yang tidak diinginkan. Dalam periode 2001 sampai 2008, jadi hanya dalam
waktu tujuh tahun, penebangan sah oleh HPH meningkat sekitar sepuluh kali
lipat. Karena izin HPH pada umumnya yang mendasari tindakan penyalahgunaan,
maka penebangan liar juga telah meningkat drastis, hingga 90%; tidak ada daerah
lain di Indonesia dengan prosentase yang begitu tinggi. Karena itu, impor kayu
tropis liar dari Indonesia seringkali berarti sumbernya adalah Papua. Jika
hutan Papua yang mempunyai keanekaragaman hayati luarbiasa dan unik
terus-menerus dimusnahkan dengan begitu pesat, maka punahnya hutan dalam
beberapa tahun mendatang menjadi jelas.
Dalam beberapa tahun terakhir ini penebangan hutan telah
merubah kehidupan masyarakat adat dalam waktu sangat singkat. Masyarakat
kehilangan hutan, sekaligus kehilangan akses pemanfaatan sumber-sumber daya,
yaitu sagu, akar-akaran, binatang buruan, dan tanaman serat. Konflik baru telah
muncul yang menghancurkan harapan untuk masa depan.
Perkebunan Sawit: Meledaknya bahan bakar agrofuels menyebabkan
meluasnya ekspansi perkebunan secara besar-besaran
Hutan tropis di Papua hampir tidak mempunyai kesempatan untuk
bertahan, karena muncul ancaman baru yakni minyak sawit. Pemerintah Indonesia
bereaksi atas kebutuhan energi dunia dengan perencanaan 20 juta hektar
perkebunan sawit Papua berkenan menyediakan tujuh juta hektar. Ini bisa berarti
bahwa 9,3 juta hektar hutan konversi diperuntukkan bagi perkebunan. Perjanjian
pertama untuk perkebunan besar-besaran termasuk infrastruktur terkait telah
ditandatangani pada bulan Januari 2007. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
dibilang menekan Papua agar rencana dari Jakarta diterima. Artinya, demi
biofuel menurut keinginan Jakarta, Papua harus takluk.
Di Papua terdapat beberapa perkebunan yang sudah lama ada di
daerah tersebut. Perkebunan sawit yang lebih besar dan yang
"produktif" saat kini hanya terdapat di wilayah dekat Jayapura
(Lereh, Arso) dan Boven Digul (Korindo), semua wilayah tersebut memiliki
produksi yang sangat rendah. Pengalaman dengan perkebunan tersebut adalah
pengalaman yang memprihatikan. Sepuluh kali lebih banyak hutan yang ditebang
dari pada yang ditanam dengan kelapa sawit. Dampak negatif lainnya adalah
banjir di Lereh, pelanggaran hak asasi manusia di Arso dan di perkebunan
Korindo di Boven Digul, masyarakat adat kehilangan tempat pemburuan. Hal ini
mengakibatkan peningkatan kemiskinan, penyakit yang disebabkan oleh kekurangan
gizi, dan kelaparan. Juga stress dan trauma berkepanjangan akibat masyarakat
tidak berdaya di hadapan kekuasaan pemerintah Indonesia.
Adanya kaitan erat antara perekonomian perkebunan dan
penggundulan hutan untuk lahan perkebunan, hutan harus ditebang habis dan
sisanya seperti akar-akaran dimusnahkan dengan api. Tidak hanya di Papua, juga
di Kalimantan dan Sumatra perusahaan kelapa sawit memiliki lahan jauh lebih
banyak daripada lahan yang ditanami.
Pada Januari 2007 pemerintah Indonesia menandatangani
perjanjian pertama yang besar dan relevan untuk Papua. Perusahaan Indonesia
Sinar Mas Grup akan mengelola satu juta hektar perkebunan sawit, perusahaan
minyak nasional asal Cina CNOOC akan membangun infrastruktur yang diperlukan.
Media Indonesia menyebutkan salah satu donatur proyek ini adalah KFW dari
Jerman (Kreditanstalt für Wiederaufbau - bank negara/IBRA) atau anak
perusahaanya swasta yaitu DEG sebagai donor. Sementara itu , perealisasian
proyek tersebut goyang. DEG sepertinya telah memundurkan diri dari proyek
tersebut, dan Sinar Mas mengakui adanya "risiko".
Namun demikian Jakarta melakukan tekanan yang kuat terhadap
Papua supaya menerima maksud dari ekspansi. Di sisi lain perusahaan-perusahaan
mempunyai ketertarikan atas bisnis yang menguntungkan pihaknya ini dan sibuk
bernegosiasi pada semua tingkatan:dengan para gubernur dan dengan bupati
masing-masing. Perkebunan secara besar direncanakan di Pantai Utara (Sarmi,
Jayapura), di daerah Kepala Burung (Manokwari, Sorong) dan di tiga Kabupaten di
daerah Selatan: Merauke, Boven Digul, dan Mappi. Di bagian Selatan saja, tiga
juta hektar perkebunan sawit akan didirikan, termasuk Merauke dengan 1,3 juta
hektar.
Hutan Papua akan dikonversi menjadi perkebunan. Konglomerat
international telah bersiap di sekitar wilayah setempat, Perjanjian pada tiga
tingkatan: negara, propinsi, kabupaten sudah tentu ada untuk "Pembiayaan
infrastruktur" dengan alasan meningkatkan akses kemudahan di bagian Utara:
Sarmi, Jayapura; Selatan: Boven Digul, Mappi, Merauke dan Barat: Sorong,
Manokwari.
Perencanaan muncul pada ‘meja hijau hutan belantara’, seperti
digambaran dengan penggaris begitu saja di atas kertas. Perusahaan sawit berada
disekitar wilayah sejak Mei 2007 dan mencoba menpengaruhi para pengambil
keputusan di bidang politik dan juga gereja, dengan menjanjikani akan
memberikan investasi di bidang pendidikan dan infrastruktur. Dalam beberapa
bulan terakhir, beberapa perusahaan telah berhasil memperoleh hak atas puluhan
ribu hektar tanah. Masyarakat tidak mempunyai hak atas partisipasi. Ternyata,
kebanyakan dari mereka tidak mengetahui apa yang akan menimpa mereka. Namun
sebagian dari mereka menolak hilangnya hutan dan hak atas tanah mereka .
Masih dipertanyakan, apakah perkebunan besar-besaran ini bisa
direalisasikan sesuai dengan yang direncanakan. Pihak perusahaan juga
mengetahui bahwa investasi dibidang agro-industri yang belum layak di sebuah
wilayah dengan infrastruktur yang buruk dan bahaya keamanan serta politik yang
tinggi menggambarkan adanya sebuah resiko perekonomian. Namun satu yang pasti
bahwa Pembagain KUE hutan harapan terakhir di Asia, terutama di Indonesia telah
berlangsung di Tanah Papua. Tanah milik orang adat Papua itu telah terancam,
termasuk orang adatnya sendiri.
Oleh Marianne Klute, Watch Indonesia!
Terimah Kasih Atas Kunjungannya, APA YANG TERPIKIR DI BENAK ANDA DENGAN ARTIKEL INI ! ? .
Silakan tinggalkan komentar Anda di bawah ini.. Thanks... Salam Pembebasan ... FREE WEST PAPUA...
Silakan tinggalkan komentar Anda di bawah ini.. Thanks... Salam Pembebasan ... FREE WEST PAPUA...