. Keriting News - Voice Of Tgidoo: HISTORY WEST PAPUA
TIGIDOO VOICE website | Members area : Register | Sign in


Tampilkan postingan dengan label HISTORY WEST PAPUA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label HISTORY WEST PAPUA. Tampilkan semua postingan

10 NOVEMBER SEBAGAI HARI TRAGEDI KEMANUSIAAN PAPUA BARAT

Sabtu, 09 November 2013


Ketua Umum Dewan Adat Papua (DAP), Forkorus Yaboisembut mengatakan, tanggal 10 November, telah  ditetapkan sebagai Hari Tragedi Kemanusiaan Papua Barat (Humanity Tragic Day Of West Papua).

Hal ini disampaikan melalui surat pidato Presiden Presiden Negara Federal Republik Papua Barat (NRFPB)  dan juga sebagai Ketua Umum Dewan Adat Papua (DAP) dalam rangka memperingati Hari Tragedi Kemanusiaan Papua Barat (Humanity Tragic Day of West Papua), yang diterima tabloidjubi.com, melalui pesan surat elektronik, Jumat (8/11).

Forkorus menjelaskan, mengapa  10 November ditetapkan sebagai Hari Tragedi Kemanusiaan Papua Barat?  Karena Ondofolo Dortheis Hiyo Eluay (Theys) sebagai Ketua Lembaga Masyarakat  Adat   (LMA)  Provinsi Irian Jaya  ( sekarang Papua dan Papua Barat ),  juga sebagai Ketua Presidium Dewan Papua (PDP), serta sebagai Pemimpin Bangsa Papua telah diculik dan dibunuh oleh Komando Pasukan Khusus (KOPASSUS) Tentara Nasional Indonesia (TNI) tepatnya pada tanggal 10 November 2001  di Jayapura.

“Theys sebagai pemimpin besar bangsa Papua dapat mewakili baik semua pemimpin di setiap level/strata, maupun hari-hari di mana ratusan ribu rakyat bangsa Papua mulai dari bayi dalam kandungan sampai orang tua laki-laki  dan perempuan yang telah disiksa dan dibunuh oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polisi Indonesia sejak tahun 1962 sampai sekarang. Untuk mempertahankan aneksasi secara abadi tanah-air Papua Barat oleh Pemerintah Republik Indonesia,” ucap Forkorus, dalam surat  pidato tersebut yang ditulis dari dalam penjara Klas II Abepura, Jumat (8/11).

Dikatakan, Theys Eluay yang menghargai undangan KOPASUS untuk perayaan Hari Pahlawan Indonesia, 10 November 2001, malah diculik, disiksa dan dibunuh di dalam mobilnya bersama sopirnya Aristoteles Masoka. Itulah salah satu bentuk pembunuhan dengan tipu daya muslihat. Kesopan-santunan serta penghargaan dan penghormatan Theys yang mewakili kita dibalas dengan kejahatan pembunuhan.

Mengapa terus terjadi kejahatan kemanusiaan dalam berbagai bentuk di atas tanah-air Papua Barat dan juga di seluruh planet bumi kita ini ?  Kapan ada kejahatan kemanusiaan di planet bumi ini ?  Jika, kita baca ceritera dalam Alkitab tentang Kain dan Habel dua orang atau manusia bersaudara itu, kita pasti tahu, bahwa sejak Kain membunuh adik kandungnya Habel, kejahatan kemanusiaan sudah ada di bumi ini.

Pihaknya bertanya, mengapa terus terjadi kejahatan kemanusiaan ? Karena ada perasaan hati yang negatif. Seperti iri hati, sombong atau angkuh serta egois, yang dengan kata-kata lain disebut perasaan tamak atau rakus (greedy). Tamak akan kekayaan harta benda, tamak akan kekuasaan, ketenaran, pangkat, jabatan dan lain-lain hal yang sejenis.

“Tetapi kalau kita teliti secara baik-baik, bahwa semua sifat yang negatif yang timbul dari dalam hati karena ada perasaan kekuatiran dan rasa takut yang berlebihan dalam kehidupan secara pribadi maupun kolektif. Misalnya, takut tidak dapat makan dan minum yang enak. Takut tidak dapat jabatan atau takut kehilangan jabatan dan harta benda. Takut disaingi oleh teman atau lawan kita,” tuturnya.

Perasaan takut dan kuatir akan kehidupan membuat kita iri hati, egois atau tamak (greedy). Sehingga kita mencari berbagai cara, baik yang halal maupun yang jahat. Sebagai solusi penyelesaian konflik batin, rasa kuatir dan takut akan kehidupan di dunia. Sehingga kita melakukan kejahatan kemanusiaan di mana-mana di seluruh dunia. Tetapi, kita juga sadar atau tidak telah dan sedang melakukan kejahatan kemanusiaan karena ada hawa nafsu untuk menikmati semua yang kita inginkan.

Pada moment Hari Tragedi Kemanusiaan Papua Barat (Humanity Tragic Day of West Papua), 10 November 2013 ini, saya mengajak kita semua introsfeksi diri kita, secara pribadi maupun secara kolektif di setiap suku-suku dan sebagai bangsa Papua di negeri Papua Barat dan merobah gaya hidup (life style). Agar kita tidak terus hidup  dalam melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap keluarga, orang tua, saudara/i  kita, teman maupun pihak lain.

Apabila kita dijahati orang rasa sakit, maka orang lain yang mengalami kejahatan kita juga menderita rasa sakit yang sama.

Oleh karena itu, Forkorus Yaboisembut mengajak, semua rakyat Papua untuk  berjuang dengan cara-cara damai, serta menghargai nilai-nilai hak azasi manusia, azas-azas demokrasi, dan prinsip-prinsip hukum internasional. Dengan landasan itu, kita meminta Pemerintah Indonesia untuk menerima inisiatif tawaran negosiasi atau perundingan langsung. “Terutama, untuk mengatur proses pengakuan dan peralihan kekuasaan kedaulatan pemerintahan  dari Negara Kesatuan Republik Indonesia kepada Negara Federal Republik Papua Barat secara damai,” paparnya.

Pemerintah Republik Indonesia tidak perlu kuatir dan takut kehilangan tanah-air Papua Barat dengan sumber daya alamnya. Karena Tuhan Yang Maha Esa, Mahakuasa, Mahakasih dan Penyayang pencipta alam semesta dan isinya pasti mengaruniakan berkat kepada setiap pulau milik Bangsa Indonesia. Oleh karena itu, takut kepada Tuhan Allah dan melaksanakan perintah Nya sebagai sumber dari segala sumber berkat. Perintah Tuhan Allah bagi Pemerintah Republik Indonesia sangat jelas, yakni menjadi rahmat bagi setiap makhluk.

Salah satu wujud dari menjadi rahmat bagi setiap makhluk adalah dengan mengakui kemerdekaan kedaulatan Papua Barat dan melakukan proses peralihan kekuasaan kedaulatan pemerintahan kepada Negara Federal Republik Papua Barat (NRFPB) atas negeri Papua Barat.

Bapak/Ibu/Sdr/i pada moment Hari Tragedi Kemanusiaan Papua Barat (Humanity Tragic Day of West Papua), 10 November 2013 ini, kita patut mendoakan sesama umat manusia di belahan lain di bumi ini, yang juga mengalami peristiwa kejahatan kemanusiaan. Agar para pemimpin mereka baik pemerintahan yang sedang berkuasa, maupun para pihak oposisi dapat merobah cara pandang atau gaya hidup (life style) mereka yang egois atau tamak (greedy). Sehingga rakyat di sana dapat hidup lebih aman, damai dan sejahtera, serta dapat berimbas kepada perdamaian di seluruh dunia. Karena ada saling menghargai dan menghormati hak masing-masing pihak di atas tanah-air mereka dengan pengakuan dan pengaturan secara adil.

Bila ada yang merencanakan pelaksanaan dalam bentuk lain, seperti melakukan demo damai. Harap supaya benar-benar dalam suasana damai, tertib, aman, dan terkendali. Kepada pihak aparat polisi dan militer Indonesia supaya dapat memberikan kesempatam kepada penyampaian pendapat di depan umum. Jangan dibatasi dengan alasan tidak ada Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP) dari Polisi. Hal itu menunjukan adanya sikap dan tindakan diskriminatif, dan merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak azasi manusia Papua Barat yang nyata pada tahun 2013 berlaku. Ada apa di balik itu semua ?

“Demikianlah sambutan saya, sebagai Presiden Negara Federal Republik Papua Barat (NRFPB)  dan juga sebagai Ketua Umum Dewan Adat Papua (DAP) dalam rangka memperingati Hari Tragedi Kemanusiaan Papua Barat (Humanity Tragic Day of West Papua), 10 November 2013. Atas perhatian dan kerja samanya saya sampaikan terima kasih! Syalom! Tuhan Yesus beserta kita,” demikian kata Forkorus mengakhiri pidatonya.

Dari informasi yang diterima, terkait dengan ditetapkannya hari tersebut, selanjutnya pada Sabtu (9/11) besok, akan diadakan ibadah bersama oleh para petinggi Dewan Adat  Papua di Jayapura.

“Yah, selain jumpa pers, kita juga akan  memperingati Hari Tragedi Kemanusiaan, 10 November 2013 dalam bentuk Ibadah Syukur, yang direncanakan  pada hari Sabtu, 11 November 2013. Tempat dan waktu ibadah disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing,” kata Ferdinand Okoseray, salah satu pengurus DAP, ketika dikonfirmasi tabloidjubi.com.  (Jubi/Eveerth)

source: tabloidjubi.com

DEWAN ADAT PAPUA PERINGATI KEMATIAN THEYS H.ELUAY

Theys Eluay saat meninggal dunia | Ist

@IRNewscom | Sentani: DEWAN Adat Papua (DAP) akan memperingati Hari Tragedi Kemanusiaan Papua Barat (Humanity Tragic Day of West Papua) yang jatuh pada Minggu (10/11). Peringatan itu digelar dengan ibadah syukur.

"Hari Tragedi Kemanusiaan (10/11) akan diperingati dalam bentuk ibadah syukur pada hari Senin (11/11). Tempat dan waktu ibadah disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing," kata Ketua Umum DAP, Forkorus Yaboisembut, di Sentani, Sabtu (09/11).

Forkorus mengatakan, 10 November ditetapkan sebagai Hari Tragedi Kemanusiaan Papua Barat untuk memperingati meninggalnya secara tidak wajar Ondofolo Dortheis Hiyo Eluay (Theys) yang menjabat Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Provinsi Papua. Dia juga sebagai Ketua Presidium Dewan Papua (PDP). "Saya mengajak semua pihak untuk melakukan introspeksi, secara pribadi maupun secara kolektif di setiap suku-suku dan sebagai warga Papua untuk mengubah gaya hidup (life style) dengan dengan tidak melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap keluarga, orang tua, saudara, teman maupun pihak lain," ujarnya seperti dilansir Antara.

Menurut dia, pihaknya telah memilih dan berjuang dengan cara-cara damai, serta menghargai nilai-nilai hak asasi manusia, asas-asas demokrasi, dan prinsip-prinsip hukum internasional. "Kami patut mendoakan sesama umat manusia di belahan lain di bumi ini yang juga mengalami peristiwa kejahatan kemanusiaan. Agar para pemimpin mereka, baik pemerintahan yang sedang berkuasa, maupun para pihak oposisi dapat mengubah cara pandang atau gaya hidup (life style) mereka yang egois atau tamak (greedy)," kata Forkorus.

Dengan demikian, lanjut dia, rakyat bisa hidup lebih aman, damai dan sejahtera, serta pada gilirannya diharapkan dapat berimbas kepada perdamaian di seluruh dunia.

Selain itu, kata Forkorus, bila ada yang merencanakan pelaksanaan peringatan Hari Tragedi Kemanusiaan dalam bentuk lain, seperti melakukan demo damai, diharapkan agar benar-benar dalam suasana damai, tertib, aman, dan terkendali. "Kepada pihak aparat polisi dan militer Indonesia supaya dapat memberikan kesempatan kepada penyampaian pendapat di depan umum," ujar dia. [ant]

source: www.indonesiarayanews.com

Sejarah Kelam Genosida Papua Barat 1970 yang Baru Terungkap

Sabtu, 26 Oktober 2013


Laporan terbaru yang disusun Asian Human Rights Commission (AHRC) Hongkong menyatakan bahwa Indonesia menggunakan helikopter yang disuplai Australia dalam genosida atau pembunuhan massal terhadap warga sipil di Papua Barat pada era 1970-an. Selain itu, ada dua helikopter milik Iroquois (kumpulan rakyat pribumi Amerika Utara) yang dikerahkan militer Indonesia ke dataran tinggi Papua antara tahun 1977-1978.

Menurut AHRC, operasi militer ini menyebabkan lebih dari 4.000 warga pribumi Papua tewas, kebanyakan akibar serangan udara dari helikopter serta pesawat Bronco OV-10 milik Amerika Serikat.

Dalam laporan AHRC dipaparkan kekejaman pasukan Indonesia yang dianggap bersikap "brutal dan tidak berperikemanusiaan". Beberapa korban selamat menyampaikan kepada AHRC bahwa pasukan memaksa warga Papua untuk memakan tinjanya sendiri, sementara mereka yang ditahan oleh militer dipaksa berbaris dan ditembaki secara membabi buta. Wanita Papua juga tidak luput dari tindak kekerasan seksual. Beberapa wanita ada yang dikubur, dibakar, bahkan direbus hidup-hidup.

Pada laporan yang risetnya memerlukan waktu 3 tahun ini, disebutkan bahwa pejabat tinggi militer Indonesia, termasuk mantan presiden Soeharto, terlibat dalam pembunuhan massal Papua Barat.

"Lamanya pemerintahan otoriter di bawah Soeharto telah benar-benar membungkam rakyat Indonesia untuk tidak membahas sejarah kelam terkait Papua," kata Basil Fernando, direktur AHRC untuk pengembangan kebijakan dan program.

"Tanpa kesadaran dari pemerintah dan masyarakat Indonesia akan kebobrokan yang terjadi di Papua, konflik di daerah itu akan terus terjadi. Seharusnya ada usaha sendiri dari pemerintah untuk menegakkan keadilan bagi rakyat Papua, salah satunya adalah dengan memenuhi hak mereka akan kebenaran," lanjut Fernando.

Sementara itu, Jennifer Robinson dari International Lawyers for West Papua meyakini bahwa laporan genosida Papua Barat yang dibuat AHRC "tidak terhingga nilainya".

"Sudah terlalu lama Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dan komunitas internasional mengabaikan penderitaan rakyat Papua Barat akibat kejahatan Indonesia. Tanpa kesadaran dan keadilan, tidak akan ada kedamaian di Papua," kata Robinson.

Source: www.jawaban.com

DASAR DASAR PERJUANGAN KEMERDEKAAN PAPUA BARAT

Rabu, 27 Februari 2013

Oleh: Ottis Simopiaref


Mengapa rakyat Papua Barat ingin merdeka di luar Indonesia?
Mengapa rakyat Papua Barat masih tetap meneruskan perjuangan mereka?
Kapan mereka mau berhenti berjuang?

Ada empat faktor yang mendasari keinginan rakyat Papua Barat untuk memiliki negara sendiri yang merdeka dan berdaulat di luar penjajahan manapun, yaitu:


1. hak

2. budaya
3. latarbelakang sejarah
4. realitas sekarang

ad 1. Hak

Kemerdekaan adalah »hak« berdasarkan Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration on Human Rights) yang menjamin hak-hak individu dan berdasarkan Konvenant Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik yang menjamin hak-hak kolektif di dalam mana hak penentuan nasib sendiri (the right to self-determination) ditetapkan.
»All peoples have the right of self-determination. By virtue of that right they freely determine their political status and freely pursue their economic, social and cultural development - Semua bangsa memiliki hak penentuan nasib sendiri. Atas dasar mana mereka bebas menentukan status politik mereka dan bebas melaksanakan pembangunan ekonomi dan budaya mereka«
(International Covenant on Civil and Political Rights, Article 1). Nation is used in the meaning of People (Roethof 1951:2) and can be distinguished from the concept State - Bangsa digunakan dalam arti Rakyat (Roethof 1951:2) dan dapat dibedakan dari konsep Negara (Riop Report No.1). Riop menulis bahwa sebuah negara dapat mencakup beberapa bangsa, maksudnya kebangsaan atau rakyat (A state can include several nations, meaning Nationalities or Peoples).
Ada dua jenis the right to self-determination (hak penentuan nasib sendiri), yaitu external right to self-determination dan internal right to self-determination.
External right to self-determination yaitu hak penentuan nasib sendiri untuk mendirikan negara baru di luar suatu negara yang telah ada. Contoh: hak penentuan nasib sendiri untuk memiliki negara Papua Barat di luar negara Indonesia. External right to self-determination, or rather self-determination of nationalities, is the right of every nation to build its own state or decide whether or not it will join another state, partly or wholly (Roethof 1951:46) - Hak external penentuan nasib sendiri, atau lebih baiknya penentuan nasib sendiri dari bangsa-bangsa, adalah hak dari setiap bangsa untuk membentuk negara sendiri atau memutuskan apakah bergabung atau tidak dengan negara lain, sebagian atau seluruhnya (Riop Report No.1). Jadi, rakyat Papua Barat dapat juga memutuskan untuk berintegrasi ke dalam negara tetangga Papua New Guinea. Perkembangan di Irlandia Utara dan Irlandia menunjukkan gejala yang sama. Internal right to self-determination yaitu hak penentuan nasib sendiri bagi sekelompok etnis atau bangsa untuk memiliki daerah kekuasaan tertentu di dalam batas negara yang telah ada. Suatu kelompok etnis atau suatu bangsa berhak menjalankan pemerintahan sendiri, di dalam batas negara yang ada, berdasarkan agama, bahasa dan budaya yang dimilikinya. Di Indonesia dikenal Daerah Istimewa Jogyakarta dan Daerah Istimewa Aceh. Pemerintah daerah-daerah semacam ini biasanya dilimpahi kekuasaan otonomi ataupun kekuasaan federal. Sayangnya, Jogyakarta dan Aceh belum pernah menikmati otonomi yang adalah haknya.

ad 2. Budaya

Rakyat Papua Barat, per definisi, merupakan bagian dari rumpun bangsa atau ras Melanesia yang berada di Pasifik, bukan ras Melayu di Asia. Rakyat Papua Barat memiliki budaya Melanesia. Bangsa Melanesia mendiami kepulauan Papua (Papua Barat dan Papua New Guinea), Bougainville, Solomons, Vanuatu, Kanaky (Kaledonia Baru) dan Fiji. Timor dan Maluku, menurut antropologi, juga merupakan bagian dari Melanesia. Sedangkan ras Melayu terdiri dari Jawa, Sunda, Batak, Bali, Dayak, Makassar, Bugis, Menado, dan lain-lain.
Menggunakan istilah ras di sini sama sekali tidak bermaksud bahwa saya menganjurkan rasisme. Juga, saya tidak bermaksud menganjurkan nasionalisme superior ala Adolf Hitler (diktator Jerman pada Perang Dunia II). Adolf Hitler menganggap bahwa ras Aria (bangsa Germanika) merupakan manusia super yang lebih tinggi derajat dan kemampuan berpikirnya daripada manusia asal ras lain. Rakyat Papua Barat sebagai bagian dari bangsa Melanesia merujuk pada pandangan Roethof sebagaimana terdapat pada ad 1 di atas.

ad 3. Latarbelakang Sejarah

Kecuali Indonesia dan Papua Barat sama-sama merupakan bagian penjajahan Belanda, kedua bangsa ini sungguh tidak memiliki garis paralel maupun hubungan politik sepanjang perkembangan sejarah. Analisanya adalah sebagai berikut:

Pertama: Sebelum adanya penjajahan asing, setiap suku, yang telah mendiami Papua Barat sejak lebih dari 50.000 tahun silam, dipimpin oleh kepala-kepala suku (tribal leaders). Untuk beberapa daerah, setiap kepala suku dipilih secara demokratis sedangkan di beberapa daerah lainnya kepala suku diangkat secara turun-temurun. Hingga kini masih terdapat tatanan pemerintahan tradisional di beberapa daerah, di mana, sebagai contoh, seorang Ondofolo masih memiliki kekuasaan tertentu di daerah Sentani dan Ondoafi masih disegani oleh masyarakat sekitar Yotefa di Numbai. Dari dalam tingkat pemerintahan tradisional di Papua Barat tidak terdapat garis politik vertikal dengan kerajaan-kerajaan kuno di Indonesia ketika itu.


Kedua: Rakyat Papua Barat memiliki sejarah yang berbeda dengan Indonesia dalam menentang penjajahan Belanda dan Jepang. Misalnya, gerakan Koreri di Biak dan sekitarnya, yang pada awal tahun 1940-an aktif menentang kekuasaan Jepang dan Belanda, tidak memiliki garis komando dengan gerakan kemerdekaan di Indonesia ketika itu. Gerakan Koreri, di bawah pimpinan Stefanus Simopiaref dan Angganita Menufandu, lahir berdasarkan kesadaran pribadi bangsa Melanesia untuk memerdekakan diri di luar penjajahan asing.


Ketiga: Lamanya penjajahan Belanda di Indonesia tidak sama dengan lamanya penjajahan Belanda di Papua Barat. Indonesia dijajah oleh Belanda selama sekitar 350 tahun dan berakhir ketika Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949. Papua Barat, secara politik praktis, dijajah oleh Belanda selama 64 tahun (1898-1962).


Keempat: Batas negara Indonesia menurut proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 adalah dari »Aceh sampai Ambon«, bukan dari »Sabang sampai Merauke«. Mohammed Hatta (almarhum), wakil presiden pertama RI dan lain-lainnya justru menentang dimasukkannya Papua Barat ke dalam Indonesia (lihat Karkara lampiran I, pokok Hindia Belanda oleh Ottis Simopiaref).


Kelima: Pada Konferensi Meja Bundar (24 Agustus - 2 November 1949) di kota Den Haag (Belanda) telah dimufakati bersama oleh pemerintah Belanda dan Indonesia bahwa Papua Barat tidak merupakan bagian dari negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Status Nieuw-Guinea akan ditetapkan oleh kedua pihak setahun kemudian. (Lihat lampiran II pada Karkara oleh Ottis Simopiaref).


Keenam: Papua Barat pernah mengalami proses dekolonisasi di bawah pemerintahan Belanda. Papua Barat telah memiliki bendera national »Kejora«, »Hai Tanahku Papua« sebagai lagu kebangsaan dan nama negara »Papua Barat«. Simbol-simbol kenegaraan ini ditetapkan oleh New Guinea Raad / NGR (Dewan New Guinea). NGR didirikan pada tanggal 5 April 1961 secara demokratis oleh rakyat Papua Barat bekerjasama dengan pemerintah Belanda. Nama negara, lagu kebangsaan serta bendera telah diakui oleh seluruh rakyat Papua Barat dan pemerintah Belanda.



Ketujuh: Dari 1 Oktober 1962 hingga 1 Mei 1963, Papua Barat merupakan daerah perwalian PBB di bawah United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) dan dari tahun 1963 hingga 1969, Papua Barat merupakan daerah perselisihan internasional (international dispute region). Kedua aspek ini menggaris-bawahi sejarah Papua Barat di dunia politik internasional dan sekaligus menunjukkan perbedaannya dengan perkembangan sejarah Indonesia bahwa kedua bangsa ini tidak saling memiliki hubungan sejarah.


Kedelapan: Pernah diadakan plebisit (Pepera) pada tahun 1969 di Papua Barat yang hasilnya diperdebatkan di dalam Majelis Umum PBB. Beberapa negara anggota PBB tidak setuju dengan hasil Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) karena hanya merupakan hasil rekayasa pemerintah Indonesia. Adanya masalah Papua Barat di atas agenda Majelis Umum PBB menggaris-bawahi nilai sejarah Papua Barat di dunia politik internasional. Ketidaksetujuan beberapa anggota PBB dan kesalahan PBB dalam menerima hasil Pepera merupakan motivasi untuk menuntut agar PBB kembali memperbaiki sejarah yang salah. Kesalahan itu sungguh melanggar prinsip-prinsip PBB sendiri. (Silahkan lihat lebih lanjut pokok tentang Pepera dalam Karkara oleh Ottis Simopiaref).


Kesembilan: Rakyat Papua Barat, melalui pemimpin-pemimpin mereka, sejak awal telah menyampaikan berbagai pernyataan politik untuk menolak menjadi bagian dari RI. Frans Kaisiepo (almarhum), bekas gubernur Irian Barat, pada konferensi Malino 1946 di Sulawesi Selatan, menyatakan dengan jelas bahwa rakyatnya tidak ingin dihubungkan dengan sebuah negara RI (Plunder in Paradise oleh Anti-Slavery Society). Johan Ariks (alm.), tokoh populer rakyat Papua Barat pada tahun 1960-an, menyampaikan secara tegas perlawanannya terhadap masuknya Papua Barat ke dalam Indonesia (Plunder in Paradise olehAnti-Slavery Society). Angganita Menufandu (alm.) dan Stefanus Simopiaref (alm.) dari Gerakan Koreri, Raja Ati Ati (alm.) dari Fakfak, L.R. Jakadewa (alm.) dari DVP-Demokratische Volkspartij, Lodewijk Mandatjan (alm.) dan Obeth Manupapami (alm.) dari PONG-Persatuan Orang Nieuw-Guinea, Barend Mandatjan (alm.), Ferry Awom (alm.) dari Batalyon Papua, Permenas Awom (alm.), Jufuway (alm.), Arnold Ap (alm.), Eliezer Bonay (alm.), Adolf Menase Suwae (alm.), Dr. Thomas Wainggai (alm.), Nicolaas Jouwe, Markus Wonggor Kaisiepo dan lain-lainnya dengan cara masing-masing, pada saat yang berbeda dan kadang-kadang di tempat yang berbeda memprotes adanya penjajahan asing di Papua Barat.

ad 4. Realitas Sekarang
Rakyat Papua Barat menyadari dirinya sendiri sebagai bangsa yang terjajah sejak adanya kekuasaan asing di Papua Barat. Kesadaran tersebut tetap menjadi kuat dari waktu ke waktu bahwa rakyat Papua Barat memiliki identitas tersendiri yang berbeda dengan bangsa lain. Di samping itu, penyandaran diri setiap kali pada identitas pribadi yang adalah dasar perjuangan, merupakan akibat dari kekejaman praktek-praktek kolonialisme Indonesia. Perlawanan menjadi semakin keras sebagai akibat dari (1) penindasan yang brutal, (2) adanya ruang-gerak yang semakin luas di mana seseorang dapat mengemukakan pendapat secara bebas dan (3) membanjirnya informasi yang masuk tentang sejarah Papua Barat. Rakyat Papua Barat semakin mengetahui dan mengenal sejarah mereka. Kesadaran merupakan basis untuk mentransformasikan realitas, sebagaimana almarhum Paulo Freire (profesor Brasilia dalam ilmu pendidikan) menulis. Semangat juang menjadi kuat sebagai akibat dari kesadaran itu sendiri.
Pada tahun 1984 terjadi exodus besar-besaran ke negara tetangga Papua New Guinea dan empat pemuda Papua yaitu Jopie Roemajauw, Ottis Simopiaref, Loth Sarakan (alm.) dan John Rumbiak (alm.) memasuki kedutaan besar Belanda di Jakarta untuk meminta suaka politik. Permintaan suaka politik ke kedubes Belanda merupakan yang pertama di dalam sejarah Papua Barat. Gerakan yang dimotori Kelompok Musik-Tari Tradisional, Mambesak (bahasa Biak untuk Cendrawasih) di bawah pimpinan Arnold Ap (alm.) merupakan manifestasi politik anti penjajahan yang dikategorikan terbesar sejak tahun 1969. Kebanyakan anggota Mambesak mengungsi dan berdomisili di Papua New Guinea sedangkan sebagian kecil masih berada dan aktif di Papua Barat.
Dr. Thomas Wainggai (alm.) memimpin aksi damai besar pada tanggal 14 Desember 1988 dengan memproklamirkan kemerdekaan negara Melanesia Barat (Papua Barat). Setahun kemudian pada tanggal yang sama diadakan lagi aksi damai di Numbai (nama pribumi untuk Jayapura) untuk memperingati 14 Desember. Dr. Thom Wainggai dijatuhkan hukuman penjara selama 20 tahun, namun beliau kemudian meninggal secara misterius di penjara Cipinang. Papua Barat dilanda berbagai protes besar-besaran selama tahun 1996. Tembagapura bergelora bagaikan air mendidih selama tiga hari (11-13 Maret). Numbai terbakar tanggal 18 Maret menyusul tibanya mayat Thom Wainggai. Nabire dijungkir-balik selama 2 hari (2-3 Juli). Salah satu dari aksi damai terbesar terjadi awal Juli 1998 di Biak, Numbai, Sorong dan Wamena, kemudian di Manokwari. Salah satu pemimpin dari gerakan bulan Juli 1998 adalah Drs. Phillip Karma. Drs. P. Karma bersama beberapa temannya sedang ditahan di penjara Samofa, Biak sambil menjalani proses pengadilan. Gerakan Juli 1998 merupakan yang terbesar karena mencakup daerah luas yang serentak bergerak dan memiliki jumlah massa yang besar. Gerakan Juli 1998 terorganisir dengan baik dibanding gerakan-gerakan sebelumnya. Di samping itu, Gerakan Juli 1998 dapat menarik perhatian dunia melalui media massa sehingga beberapa kedutaan asing di Jakarta menyampaikan peringatan kepada ABRI agar menghentikan kebrutalan mereka di Papua Barat. Berkat Gerakan Juli 1998 Papua Barat telah menjadi issue yang populer di Indonesia dewasa ini. Di samping sukses yang telah dicapai terdapat duka yang paling dalam bahwa menurut laporan dari PGI (Persekutuan Gereja Indonesia) lebih dari 140 orang dinyatakan hilang dan kebanyakan mayat mereka telah ditemukan terdampar di Biak. Menurut laporan tersebut, banyak wanita yang diperkosa sebelum mereka ditembak mati. Realitas penuh dengan represi, darah, pemerkosaan, penganiayaan dan pembunuhan, namun perjuangan tetap akan dilanjutkan. Rakyat Papua Barat menyadari dan mengenali realitas mereka sendiri. Mereka telah mencicipi betapa pahitnya realitias itu. Mereka hidup di dalam dan dengan suatu dunia yang penuh dengan ketidakadilan, namun kata-kata Martin Luther King masih disenandungkan di mana-mana bahwa »We shall overcome someday!« (Kita akan menang suatu ketika!).

Masa depan: Tidak diikut-sertakannya rakyat Papua Barat sebagai subjek masalah di dalam Konferensi Meja Bundar, New York Agreement yang mendasari Act of Free Choice, Roma Agreement dan lain-lainnya merupakan pelecehan hak penentuan nasib sendiri yang dilakukan oleh pemerintah (state violence) dalam hal ini pemerintah Indonesia dan Belanda. (Untuk Roma Agreement, silahkan melihat lampiran pada Karkara oleh Ottis Simopiaref). Rakyat Papua Barat tidak diberi kesempatan untuk memilih secara demokratis di dalam Pepera. Act of Free Choice disulap artinya oleh pemerintah Indonesia menjadi Pepera. Di sini terjadi manipulasi pengertian dari Act of Free Choice (Ketentuan Bebas Bersuara) menjadi Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Ortiz Sans sebagai utusan PBB yang mengamati jalannya Pepera melaporkan bahwa rakyat Papua Barat tidak diberikan kebebasan untuk memilih. Ketidakseriusan PBB untuk menerima laporan Ortiz Sans merupakan pelecehan hak penentuan nasib sendiri. PBB justru melakukan pelecehan HAM melawan prinsip-prinsipnya sendiri. Ini merupakan motivasi di mana rakyat Papua Barat akan tetap berjuang menuntut pemerintah Indonesia, Belanda dan PBB agar kembali memperbaiki kesalahan mereka di masa lalu. Sejak pencaplokan pada 1 Mei 1963, pemerintah Indonesia selalu berpropaganda bahwa yang pro kemerdekaan Papua Barat hanya segelintir orang yang sedang bergerilya di hutan. Tapi, Gerakan Juli 1998 membuktikan yang lain di mana dunia telah menyadari bahwa jika diadakan suatu referendum bebas dan adil maka rakyat Papua Barat akan memilih untuk merdeka di luar Indonesia. Rakyat Indonesia pun semakin menyadari hal ini.


Menurut catatan sementara, diperkirakan bahwa sekitar 400 ribu orang Papua telah meninggal sebagai akibat dari dua hal yaitu kebrutalan ABRI dan kelalaian politik pemerintah. Sadar atau tidak, pemerintah Indonesia telah membuat sejarah hitam yang sama dengan sejarah Jepang, Jerman, Amerikat Serikat, Yugoslavia dan Rwanda. Jepang kemudian memohon maaf atas kebrutalannya menduduki beberapa daerah di Asia-Pasifik pada tahun 1940-an. Sentimen anti Jerman masih terasa di berbagai negara Eropa Barat. Ini membuat para pemimpin dan orang-orang Jerman menjadi kaku jika mengunjungi negara-negara yang pernah didukinya, apalagi ke Israel. Berbagai media di dunia pada 4 Desember 1998 memberitakan penyampaian maaf untuk pertama kali oleh Amerika Serikat (AS) melalui menteri luarnegerinya, Madeleine Albright. "Amerika Serikat menyesalkan »kesalahan-kesalahan yang amat sangat« yang dilakukannya di Amerika Latin selama perang dingin", kata Albright. AS ketika itu mendukung para diktator bersama kekuatan kanan yang berkuasa di Amerika Latin di mana terjadi pembantaian terhadap berjuta-juta orang kiri. Semoga Indonesia akan bersedia untuk merubah sejarah hitam yang ditulisnya dengan memohon maaf kepada rakyat Papua Barat di kemudian hari. Satu per satu para penjahat perang di bekas Yugoslavia telah diseret ke Tribunal Yugoslavia di kota Den Haag, Belanda. Agusto Pinochet, bekas diktator di Chili, sedang diperiksa di Inggris untuk diekstradisikan ke Spanyol. Dia akan diadili atas terbunuhnya beribu-ribu orang selama dia berkuasa di Chili. Suatu usaha sedang dilakukan untuk mendokumentasikan identitas dan kebrutalan para pemimpin ABRI di Papua Barat. Dokumentasi tersebut akan digunakan di kemudian hari untuk menyeret para pemimpin ABRI ke tribunal di Den Haag. Akhir tahun ini (1998) dunia membuka mata terhadap beberapa daerah bersengketa (dispute regions), yaitu Irlandia Utara, Palestina dan Polisario (Sahara Barat). Kedua pemimpin di Irlandia Utara yang masih dijajah Inggris menerima Hadiah Perdamaian Nobel (Desember 1998). Bill Clinton, presiden Amerikat, yang mengunjungi Palestina, tanggal 14 Desember 1998, mendengar pidato dari Yaser Arafat bahwa daerah-daerah yang diduki di Palestina harus ditinggalkan oleh Israel. Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan, yang mengadakan tour di Afrika Utara mampir di Aljasaria untuk mencoba menengahi konflik antara Front Polisario dan Maroko. Front Polisario dengan dukungan Aljasaria masih berperang melawan Maroko yang menduduki Polisario (International Herald Tribune, Nov. 30, 1998). Mengapa ada konflik di Irlandia Utara, Palestina dan Polisario? Karena rakyat-rakyat di sana menuntut hak mereka dan memiliki budaya serta latar-belakang sejarah yang berbeda dari penjajah yang menduduki negeri mereka. Realitas sekarang menunjukkan bahwa rakyat-rakyat di sana masih tetap berjuang untuk membebaskan diri dari penjajahan. Realitas sekarang di Papua Barat membuktikan adanya perlawanan rakyat menentang penjajahan Indonesia. Ini merupakan manifestasi dari makna faktor-faktor budaya, latar-belakang sejarah yang berbeda dari Indonesia dan terlebih hak sebagai dasar hukum di mana rakyat Papua Barat berhak untuk merdeka di luar Indonesia.


Sejarah Papua Barat telah menjadi kuat, sarat, semakin terbuka dan kadang-kadang meledak. Perjuangan kemerdekaan Papua Barat tidak pernah akan berhenti atau dihentikan oleh kekuatan apapun kecuali ketiga faktor (hak, budaya dan latarbelakang sejarah) tersebut di atas dihapuskan keseluruhannya dari kehidupan manusia bermartabat. Rakyat Papua Barat akan meneruskan perjuangannya untuk menjadi negara tetangga yang baik dengan Indonesia. Rakyat Papua Barat akan meneruskan perjuangannya untuk menjadi bagian yang setara dengan masyarakat internasional. Perjuangan akan dilanjutkan hingga perdamaian di Papua Barat tercapai. Anak-anak, yang orang-tuanya dan kakak-kakaknya telah menjadi korban kebrutalan ABRI tidak akan hidup damai selama Papua Barat masih merupakan daerah jajahan. Mereka akan meneruskan perjuangan kemerdekaan Papua Barat. Mereka akan meneriakkan pekikan Martin Luther King, pejuang penghapusan perbedaan warna kulit di Amerka Serikat, "Lemparkan kami ke penjara, kami akan tetap menghasihi. Lemparkan bom ke rumah kami, dan ancamlah anak-anak kami, kami tetap mengasihi". Rakyat Papua Barat mempunyai sebuah mimpi yang sama dengan mimpinya Martin Luther King, bahwa »kita akan menang suatu ketika«.


===========================================

Tulisan di atas dipetik dari diktat berjudul Karkara karangan Ottis Simopiaref. Ottis Simopiaref lahir tahun 1953 di Biak, Papua Barat dan sedang berdomisi di Belanda sejak 14 Maret 1984 setelah bersama tiga temannya lari dan meminta suaka politik di Kedutaan Besar Belanda di Jakarta tanggal 28 Februari 1984.


Source: antenna.nl

Trikora Ilegal,NKRI Segera Angkat Kaki Dari Tanah West Papua

Kamis, 21 Februari 2013

Sudah jelas, menurut orang Papua. Orang Papua minta Merdeka BUKAN karena ketidakadilan, keterbelakangan, perbedaan ras, dan sebagainya. Orang Papua tidak melihat sebuah masalah dalam hal mau menerima Otsus atau menolak dan label-label lainnya. Pokok sengketa ada pada sejarah West Papua, ada pada hal-hal yang jauh sebelum itu, jauh sebelum Orde Baru, jauh sebelum G-30/S-PKI, yaitu jauh sebelum semua yang mendasari kebijakan Jakarta, dan retorika politik elit Papua, pemimpin dunia, dan penguasa di Jakarta. Maka kami akan membahas dalil-dalil kebijakan dalam hal Papua Merdeka.

PERTAMA: Fakta Kongres Papua I 1961 (1 Desember 1961)

Persoalannya mulai nampak sejak 1 Desember 1961, dalam Kongres Nasional West Papua I, 1961, peristiwa bersejarah dalam sejarah Papua sebagai sebuah bangsa, dan sebagai sebuah entitas negara yang terlepas dan berbeda dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dimana telah terjadi peristiwa penting yang memperkenalkan, mengumumkan dan mensahkan:
Pertama ---> West Papua sebagai nama negara,
Kedua ---> Papua sebagai nama bangsa
Ketiga ---> Bintang Kejora sebagai nama Bendera negara (bukan bendera kebudayaan)
Keempat ---> Burung Mambruk sebgai lambang negara (bukan lambang kebudayaan)
Kelima ---> lagu Hai Tanahku Papua, sebagai Lagu Kebangsaan (bukan lagu kebudayaan)
Keenam ---> Dengan batas negara wilayah laut, darat dan udara dari Sorong sampai Samarai (bukan sebagai sebuah provinsi NKRI)
yang sudah sah sebagai sebuah negara, (atas nama demokrasi, HAM, dan hukum universal)
dan diakui oleh Belanda (yaitu pemerintah yang sudah merdeka dan yang kebetulan ada di West Papua waktu itu)

KEDUA: Pengakuan Sukarno dalam Butir Trikora (19 Desember 1961)
Secara terbuka di Alun-Alun Utara kota Yogyakarta, tanggal 19 Desember 1961, setelah Indonesia mendengar bahwa West Papua sudah dalam persiapan mengumumkan kemerdekaannya tanggal 1 Juli 1970, Soekarno yang ekspansionis-kolonialis itu mengumumkan apa yang disebutnya Trikora (yaitu Tiga Komando Rakyat). Tiga buah komando itu berbunyi:
Bubarkan Negara Boneka Papua buatan Belanda
o Kibarkan Bendera Merah Putih di seluruh Irian Barat, dan
o Bersiaplah untuk mobilisasi umum


KETIGA: The New York Agreement (15 Augustus 1962)
Setelah perdebatan yang alot antara elit politik NKRI, terutama antara pihak nasionalis-ekspansionis pimpinan Soekarno dengan pihak realis-humanis di bawah pimpinan Moh. Hatta, akhirnya Bung Hatta mengundurkan diri karena politik Soekarno berbau kolonialis, tidak sama dengan cita-cita kemerdekaan NKRI. Walaupun Moh. Hatta memimpin delegasi Indonesia dalam perundingan awal menyangkut West Papua, Moh. Hatta mengundurkan diri karena politik Sukarno tidak sehat. Setelah itu, Soekarno melanjutkan perundingan-perundingan dengan Belanda menyangkut status West Papua karena Indonesia mengkleim bahwa West Papua adalah bagian integral Indonesia.
Alasan yang jelas, waktu itu Sukarno pandai memanfaatkan konflik perang dingin melawan komunisme. Sukarno mendrop pasukan Trikora, yaitu masyarakat sipil dan anggota tentara Indonesia, termasuk kapal-kapal perang buatan Uni Sovyet. Seperti Sukarno tidak enak tidur gara-gara pengakuan negara West Papua 1 Desember 1961 dan mengeluarkan dektrit Trikora, sekarang J. F. Keneddy mendapat giliran mimpi buruk. Poros Jakarta - Pyong Yang – Peking – Moskwa membuat J.F. Keneddy mengambil langkah hidup-mati.
Sukarno telah melanggar prinsip politik luar negeri Indonesia, yaitu politik yang bebas dan aktif dengan poros ini, karena ia jelas-jelas berpihak pada Blok Timur. Tetapi hasilnya jelas, yaitu membuat Kennedy (pemimpin Blok Barat) turun tangan. Dan ia berhasil, yaitu Elsworth Bunker diutus secara khusus menjadi sutradara penyelesaian sengketa dan berhasil membawa NKRI dan Belanda ke New York dan akhirnya jadilah "The New York Agreement" tanggal 15 August 1962.

KEEMPAT: The "Secret" Memmorandum of Rome (30 September 1962) dan The Rome Joint Statement (20 – 21 Mei 1969)
Dalam Memorandum ini tertulis bahwa:
a. Possibility to delay or to cancel The Act of Free Choice set for 1969 by the New York Agreement. (Artinya : Kemungkinan menunda atau membatalkan Pepera 1969 sesuai Perjanjian New York) ;
b. Indonesia to occupy West Papua for 25 (twenty five years only, commencing May 01, 1963)[Artinya : Indonesia akan menduduki West Papua selaam 25 tahun (duapuluh lima tahun saja, mulai dari 1 Mei, 1963] ;
c. The execution of the 1969 Act of Free Choice would be carried out based on the Indonesian parliamentary 'musyawarah' (deliberation) practices. [Artinya : Pelaksanaan 1969 Penentuan Pendapat akan dijalankan berdasarkan cara Indonesia ‘musyawarah’.] ;
d. U.N.'s final report on the implementation of The Act of Free Choice to the UN General Assembly had to be accepted without open debate. [Artinya : Laporan akhir PBB atas implementasi Pepera kepada SU PBB harus diterima tanpa perdebatan terbuka] ;
e. The USA to make investment through Indonesia state-owned companies for the exploitation of Natural Resources in West Papua. [Artinya : AS membuat investasi melalui BUMN Indonesia untuk eksploitasi sumberdaya alam di West Papua]; 
f. USA guaranteed Asian Development Bank US$ 30 Million to UNDP for the development of West Papua for 25 years. [Artinya : AS menjamin lewat Bank Pembangunan Asia dana sebesar US$20 Juta kepada UNDP untuk pembangunan di West Papua selama 25 tahun] ; 
g. USA to guarantee the World Bank plan and implement Transmigration of Indonesians to West Papua. [Artinya : AS menjamin rencana Bank Dunia dan menerapkan Transmigrasi orang Indonesia ke West Papua].

KELIMA: Penyerahan West Papua dari UNTEA kepada NKRI (1 Mei 1963)
Salah satu hasil The Joint Rome Agreement itu adalah penyerahan wilayah West Papua dari Belanda kepada NKRI lewat UNTEA, dan dilaksanakan secepat-cepatnya. Peristiwa itu terjadi 1 Mei 1963. Peristiwa ini terjadi lima tahun lebih dulu daripada PEPERA 1969 yang akan menentukan keputusan orang Papua apakah mau bergabung dengan NKRI atau mau berdiri sendiri sesuai dengan deklarasi 1 Desember 1961. Dalam Perjanjian New York dijelaskan dua tahapan pengalihan kekuasaan, seperti dilihat dalam Terjemahan Paper Indonesia di Pasal sebelumnya, yaitu bahwa tahapan pertama dimulai
"dari 1 Oktober 1962 hingga 1 Mei 1963. Dalam tahap ini, pegawai Belanda digantikan oleh non-Belanda dan non-Indonesia. Pada tahap kedua, Administrasi UNTEA diimplementasikan dengan mempertimbangkan perkembangan lokal dan waktu pemberlakuan tahap kedua ini tidak dibatasi. PBB menemukan waktu yang tepat, UNTEA akan menjalankan transfer tanggungjawab administrasi kepada Indonesia.
Inilah kelima pokok persoalan utama, yang sampai detik ini masih diingat, masih dituntut dan masih disengketakan orang Papua. Karena itu pemaksaan Otsus sebagai pengganti aspirasi "M" dengan jelas-jelas tidak ada korelasi dan tidak ada relevansinya dengan skandal perjanjian rahasia, di luar koridor hukum yang diadakan antara Belanda dan Indonesia.

Maka dengan demikian, hari ini tanggal 19 desember kami segenap bangsa papua yang sudah merdeka secera de jure dan de vakto menggugat TRIKORA Indonesia dengan TRIKORPA Papu yang bunyinya:

Atas nama Nenek Moyang, Anak Cucu, Tulang-Belulang, Segenap Komunitas Makhluk, sang Khalik serta atas nama Bangsa dan Tanah Papua, dengan ini Memproklamirkan Tiga Komando Rakyat Papua (TRIKORPA) yaitu sebagai berikut:
1. Bubarkan Pendudukan Kolonialisme NKRI di Tanah West Papua;
2. Kibarkan Sang Bintang Kejora di Seluruh West Papua Tanah air Bangsa Papua;
3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum, guna Merebut Kembali Kemerdekaan Bangsa Papua.

Demikian Pernyataan Politik Rakyat West Papua Menggugat TRIKORA, semoga Tuhan Yang Maha Esa memberkati Perjuangan Kemerdekaan bagi Bangsa Papua.



A.n Panglima Tertinggi West Papua Revolutionary Army
Secretary General


Amunggut Tabi Leut. Gen WPRA
BRN. A. 018676

Sumber: http://umaginews.blogspot.com/2011/12/grrp-mengencam-trikora-19-desember-1961.html

Sejarah OPM (Organisasi Papua Merdeka) Oleh: Dr. George Junus Aditjondro

Tanggal 28 Juli 1965 adalah awal dari gerakan-gerakan kemerdekaan Papua Barat yang ditempeli satu label yaitu OPM (Organisasi Papua Merdeka). 
Lahirnya OPM di kota Manokwari pada tanggal itu ditandai dengan penyerangan orang-orang Arfak terhadap barak pasukan Batalyon 751 (Brawijaya) di mana tiga orang anggota kesatuan itu dibunuh. Picu "proklamasi OPM" yang pertama itu adalah penolakan para anggota Batalyon Papua (PVK = Papoea Vrijwilligers Korps ) dari suku Arfak dan Biak untuk didemobilisasi, serta penahanan orang-orang Arfak yang mengeluh ke penguasa setempat karena pengangguran yang tinggi serta kekurangan pangan di kalangan suku itu (Ukur dan Cooley, 1977: 287; Osborne, 1985: 35-36; Sjamsuddin, 1989: 96-97; Whitaker, 1990: 51).

Pada tanggal 14 Desember 1988, sekitar 60 orang berkumpul di stadion Mandala di kota Jayapura, untuk menghadiri upacara pembacaan "proklamasi OPM" serta "pengibaran bendera OPM" yang kesekian kali.

Peristiwa ini agak berbeda dari peristiwa-peristiwa serupa sebelumnya.
Soalnya, untuk pertama kalinya, bukan bendera Papua Barat hasil rancangan seorang Belanda di masa pemerintahan Belanda yang dikibarkan, melainkan sebuah bendera baru rancangan si pembaca proklamasi, Thomas Wanggai, yang dijahit oleh isterinya yang berkebangsaan Jepang, Ny. Teruko Wanggai.

Selain itu, Wanggai tidak menggunakan istilah "Papua Barat", seperti para pencetus proklamasi-proklamasi OPM maupun para pengibar bendera OPM sebelumnya, melainkan memproklamasikan berdirinya negara "Melanesia Barat". Kemudian, Thomas Wanggai sendiri adalah pendukung OPM berpendidikan paling tinggi sampai saat itu. Ia telah menggondol gelar Doktor di bidang Hukum dan Administrasi Publik dari Jepang dan AS, sebelum melamar bekerja di kantor gubernur Irian Jaya di Jayapura.

Dibandingkan dengan gerakan-gerakan nasionalisme Papua sebelumnya, gerakan Tom Wanggai mendapat perhatian yang paling luas dan terbuka dari masyarakat Irian Jaya. Sidang pengadilan negeri di Jayapura yang menghukumnya dengan 20 tahun penjara -- tertinggi dibandingkan dengan vonis-vonis sebelumnya untuk para aktivis OPM -- mendapat perhatian luas.

DENGAN segala pembatasan di atas, tonggak-tonggak sejarah mana yang paling penting untuk disorot? secara kronologis, ada lima tonggak sejarah yang paling penting dalam pertumbuhan kesadaran nasional Papua.

26 Juli 1965
Tonggak sejarah yang pertama adalah pencetusan berdirinya OPM di Manokwari, tanggal 26 Juli 1965. Gerakan itu merembet hampir ke seluruh daerah Kepala Burung, dan berlangsung selama dua tahun. Tokoh pemimpin kharismatis gerakan ini adalah Johan Ariks, yang waktu itu sudah berumur 75 tahun.

Sedangkan tokoh-tokoh pimpinan militernya adalah dua bersaudara Mandatjan, Lodewijk dan Barends, serta dua bersaudara Awom, Ferry dan Perminas. Inti kekuatan tempur gerakan itu adalah para bekas anggota PVK, atau yang dikenal dengan sebutan Batalyon Papua. Ariks dan Mandatjan bersaudara adalah tokoh-tokoh asli dari Pegunungan Arfak di Kabupaten Manokwari, sedangkan kedua bersaudara Awom adalah migran suku Biak yang memang banyak terdapat di Manokwari.(2) Sebelum terjun dalam pemberontakan bersenjata itu, Ariks adalah pemimpin partai politik bernama Persatuan Orang New Guinea (PONG) yang berbasis di Manokwari dan terutama beranggotakan orang-orang Arfak. Tujuan partai ini adalah mencapai kemerdekaan penuh bagi Papua Barat, tanpa sasaran tanggal tertentu (Nusa Bhakti, 1984; Osborne, 1989: 35-36).

1 Juli 1971
Empat tahun sesudah pemberontakan OPM di daerah Kepala Burung dapat dipadamkan oleh pasukan-pasukan elit RPKAD di bawah komando almarhum Sarwo Edhie Wibowo, "proklamasi OPM" kedua tercetus. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 1 Juli 1971 di suatu tempat di Desa Waris, Kabupaten Jayapura, dekat perbatasan Papua Niugini, yang dijuluki (Markas) Victoria, yang kemudian dijuluki dalam kosakata rakyat Irian Jaya, "Mavik".

Pencetusnya juga berasal dari angkatan bersenjata, tapi bukan seorang bekas tentara didikan Belanda, melainkan seorang bekas bintara didikan Indonesia, Seth Jafet Rumkorem. Seperti juga Ferry Awom yang memimpin pemberontakan OPM di daerah Kepala Burung, Rumkorem juga berasal dari suku Biak.

Ironisnya, ia adalah putera dari Lukas Rumkorem, seorang pejuang Merah Putih di Biak, yang di bulan Oktober 1949 menandai berdirinya Partai Indonesia Merdeka (PIM) dengan menanam pohon kasuarina di Kampung Bosnik di Biak Timur (Aditjondro, 1987: 122).

Sebagai putera dari seorang pejuang Merah Putih, Seth Jafet Rumkorem tadinya menyambut kedatangan pemerintah dan tentara Indonesia dengan tangan terbuka. Ia meninggalkan pekerjaannya sebagai penata buku di kantor KLM di Biak, dan masuk TNI/AD yang memungkinkan ia mengikuti latihan kemiliteran di Cimahi, Jawa Barat, sebelum ditempatkan di Irian Jaya dengan pangkat Letnan Satu bidang Intelligence di bawah pasukan Diponegoro.

Namun kekesalannya menyaksikan berbagai pelanggaran hak-hak asasi manusia menjelang Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969, mendorong ia masuk ke hutan bersama-sama para aktivis OPM dari daerah Jayapura sendiri.

Sebelumnya ia sudah membina hubungan dengan kelompok OPM pimpinan Herman Womsiwor, orang sesukunya, di Negeri Belanda. Atas dorongan Womsiwor, ia membacakan teks proklamasi Republik Papua Barat berikut dalam kedudukannya sebagai Presiden Republik Papua Barat dengan memilih pangkat Brigadir Jenderal:(3)

PROKLAMASI

Kepada seluruh rakyat Papua, dari Numbai sampai ke Merauke, dari Sorong sampai ke Balim (Pegunungan Bintang) dan dari Biak sampai ke Pulau Adi.
Dengan pertolongan dan berkat Tuhan, kami memanfaatkan kesempatan ini untuk mengumumkan pada anda sekalian bahwa pada hari ini, 1 Juli 1971, tanah dan rakyat Papua telah diproklamasikan menjadi bebas dan merdeka (de facto dan de jure ).
Semoga Tuhan beserta kita, dan semoga dunia menjadi maklum, bah-wa merupakan kehendak yang sejati dari rakyat Papua untuk bebas dan merdeka di tanah air mereka sendiri dengan ini telah dipenuhi.
Victoria, 1 Juli 1971
Atas nama rakyat dan pemerintah Papua Barat,
SethJafetRumkorem
(Brigadir-Jenderal)
3 Desember 1974

Dalam upacara pembacaan proklamasi itu, Rumkorem didampingi oleh Jakob Prai sebagai Ketua Senat (Dewan Perwakilan Rakyat?), Dorinus Maury sebagai Menteri Kesehatan, Philemon Tablamilena Jarisetou Jufuway sebagai Kepala Staf Tentara Pembebasan Nasional (TEPENAL), dan Louis Wajoi sebagai Komandan (Panglima?) TEPENAL Republik Papua Barat.

Imajinasi kartografis wilayah negara merdeka yang dicita-citakan oleh para aktivis OPM, tidak terbatas pada wilayah eks propinsi New Guinea Barat di masa penjajahan Belanda.Tiga tahun sesudah proklamasi di "Markas Victoria", imajinasi itu melebar sampai meliputi wilayah negara tetangga mereka, Papua Niugini. Pada tanggal 3 Desember 1974, enam orang pegawai negeri di kota Serui, ibukota Kabupaten Yapen-Waropen, menandatangani apa yang mereka sebut "Pernyataan Rakyat Yapen-Waropen", yang isinya menghendaki persatuan bangsa Papua dari Samarai (di ujung buntut daratan Papua Niugini) sampai ke Sorong, yang "100% merdeka di luar Republik Indonesia".

Sejak Februari 1975, lima di antara penandatangan petisi ditahan di Jayapura. Soalnya, salah seorang di antara penandatangan "proklamasi Sorong-Samarai" itu, Y. Ch. Merino, orang Biak yang sebelumnya adalah Kepala Kantor Bendahara Negara di Serui, pada tanggal 14 Februari 1975 kedapatan "bunuh diri" di Serui. Kabarnya dalam penggeledahan di rumahnya ditemukan uang kas negara sebanyak Rp 13 juta. Sesudah dua tahun ditahan di Jayapura, lima orang temannya yang masih hidup, di antaranya abang dari seorang alumnus FE-UKSW, diajukan ke pengadilan negeri Jayapura.

Pada tanggal 9 Maret 1977, kelimanya divonis delapan tahun penjara, karena tuduhan melakukan "makar". Ketika saya bekerja di Jayapura di awal 1980-an, saya berkenalan dengan salah seorang pencetus "proklamasi Sorong-Samarai", yang telah selesai menjalankan masa hukumannya, dan sudah diterima bekerja di sebuah perusahaan konsultan transmigran sebagai tenaga penterjemah. Ia tidak mau berceritera tentang gerakan yang pernah dilakukannya (atau yang pernah dituduhkan kepadanya?).

26 April 1984
Pada tanggal ini, pemerintah Indonesia melakukan "sesuatu" yang justru semakin menumbuhkan kesadaran nasional Papua di Irian Jaya, yakni menciptakan seorang martir yang kenangannya (untuk sementara waktu) mempersatukan berbagai kelompok OPM yang saling bertikai. Pada tanggal itulah seorang tokoh budayawan terkemuka asal Irian Jaya, Arnold Clemens Ap, ditembak di pantai Pasir Enam, sebelah timur kota Jayapura, pada saat Ap sedang menunggu perahu bermotor yang konon akan mengungsikannya ke Vanimo, Papua Niugini, ke mana isteri, anak-anak, dan sejumlah teman Arnold Ap telah mengungsi terlebih dahulu tanggal 7 Februari 1984.

Arnold Ap yang lahir di Biak tanggal 1 Juli 1945, menyelesaikan studi Sarjana Muda Geografi dari Universitas Cenderawasih, Abepura (13 Km sebelah selatan kota Jayapura). Di masa kemahasiswaannya, ia turut bersama sejumlah mahasiswa Uncen yang lama dalam demonstrasi-demonstrasi di saat kunjungan utusan PBB, Ortiz Sans, untuk mengevaluasi hasil Pepera 1969.

Sesudah hasil Pepera mendapatkan pengesahan oleh PBB, tampaknya ia menyadari bahwa pendirian suatu negara Papua Barat yang terpisah dari Indonesia terlalu kecil kansnya dalam waktu singkat. Ia kemudian berusaha memperjuangkan agar orang Irian dapat mempertahankan identitas kebudayaan mereka, walaupun tetap berada dalam konteks negara Republik Indonesia.

Selain pertimbangan real-politik , pilihan Arnold Ap untuk memperjuangkan identitas Irian melalui bidang kebudayaan juga dipengaruhi oleh "modal alam" yang dimilikinya. Ia seorang seniman serba bisa yang berbakat. Selain mahir menyanyi, memainkan gitar dan tifa, menarikan berbagai jenis tari rakyat Irian Jaya, melukis sketsa-sketsa, ia juga mahir menceriterakan mop alias guyon-guyon khas Irian. Karena kelebihan-kelebihannya itu, Ketua Lembaga Antropologi Universitas Cenderawasih, Ignasius Soeharno, mengangkat Arnold Ap menjadi Kurator Museum Uncen yang berada di bawah lembaga itu.

Dalam kapasitas itu, ia sering mendapat kesempatan mendampingi antropolog-antropolog asing yang datang melakukan penelitian lapangan di Irian Jaya. Kesempatan itulah yang dimanfaatkannya untuk melakukan inventarisasi terhadap seni patung, seni tari, serta lagu-lagu dari berbagai suku yang dikunjunginya (Ap dan Kapissa, 1981; Ap, 1983a dan 1983b).

`Dalam kedudukan sebagai kepala museum yang diberi nama Sansakerta, Loka Budaya , ia mengajak sejumlah mahasiswa Uncen mendirikan sebuah kelompok seni-budaya yang mereka namakan Mambesak (istilah bahasa Biak untuk burung cenderawasih).(4) Kelompok ini didirikan tanggal 15 Agustus 1978, menjelang acara 17 Agustus, sebagai persiapan untuk mengisi acara hiburan lepas senja di depan Loka Budaya. Selain Arnold, para "cikal-bakal" Mambesak yang lain adalah Marthin Sawaki, Yowel Kafiar, dan Sam Kapisa, yang masih berkuliah di Uncen waktu itu (IrJaDISC, 1983).

Ternyata, respons masyarakat Irian -- baik orang kota maupun orang desa, orang kampus maupun orang kampung -- terhadap karya kelompok Mambesak ini cukup besar. Lima volume kaset Mambesar berisi reproduksi -- dan juga, rearrangement -- lagu-lagu daerah Irian Jaya, berulang kali habis terjual dan diproduksi kembali. Siaran radio Pelangi Budaya dan Pancaran Sastra yang diasuh oleh Arnold Ap dkk di Studio RRI Nusantara V setiap hari Minggu siang, cukup populer. Apalagi karena di selang-seling siarannya, lagu-lagu rekaman Mambesak selalu diputar. Lagu-lagu itu bahkan pernah saya dengar di Pegunungan Bintang dari siaran radio negara tetangga, Papua Niugini, yang sedang dinikmati oleh seorang penduduk asli suku Ok.

Berarti, dengan pelan tapi pasti, suatu gerakan kebangkitan kebudayaan Irian sedang terjadi, dimotori oleh Arnold Ap dari kantornya di Loka Budaya Universitas Cenderawasih. Sebagai kurator museum dan penasehat pusat pelayanan pedesaan yang saya pimpin waktu itu, IrJa-DISC, ia juga sangat akrab berkomunikasi dengan tokoh-tokoh adat serta seniman-seniman alam yang asli Irian. Tampaknya, popularitas Arnold Ap dengan Kelompok Mambesak-nya itu kemudian membangkitkan kecurigaan aparat keamanan Indonesia, bahwa gerakan kebangkitan kebudayaan Irian itu hanyalah suatu "bungkus kultural" bagi "bahaya laten" nasionalisme Papua.

Walhasil, Arnold mulai berurusan dengan aparat keamanan di Jayapura. Tapi karena tak dapat dibuktikan bahwa ia melakukan sesuatu yang "subversif" atau bersifat "makar", ia tak dapat ditahan. Apalagi kaset-kasetnya, atas saran Arnold, diputar di kampung-kampung di perbatasan Irian Jaya - Papua Niugini, untuk mengajak para gerilyawan OPM keluar dari hutan dan pulang ke kampung mereka.

Keadaan itu berubah drastis di penghujung tahun 1983, ketika pasukan elit Kopasandha yang ditugaskan di Irian Jaya, berusaha membongkar seluruh jaringan simpatisan OPM yang mereka curigai ada di kampus dan di instansi-instansi pemerintah di Jayapura, dan menumpasnya once and for all. Arnold dianggap merupakan "kunci" untuk membongkar jaringan "OPM kota" itu. Mengapa Ap? Karena ia juga dicurigai menjadi penghubung antara aktivis OPM di hutan dengan yang ada di kota, yang memungkinkan para peneliti asing bertemu dengan Jantje Hembring, tokoh OPM di hutan Kecamatan Nimboran, Jayapura, dan juga membiayai pelarian seorang dosen Uncen, Fred Hatabu, SH, bersama bekas presiden Republik Papua Barat, Seth Jafet Rumkorem ke PNG, dari hasil penjualan kaset-kaset Mambesak.

Walhasil, pada tanggal 30 November 1983, Arnold ditahan oleh satuan Kopassanda yang berbasis di Jayapura. Sebelum dan sesudahnya, sekitar 20 orang Irian lain, yang umumnya bergerak di lingkungan Uncen maupun Kantor Gubernur Irian Jaya, juga ditahan untuk diselidiki aspirasi politik dan kaitan mereka dengan gerilya OPM di hutan dan di luar negeri. Penahanan tokoh budayawan Irian yang di media cetak Indonesia hanya dilaporkan oleh harian Sinar Harapan dan majalah bulanan Berita Oikoumene , segera mengundang kegelisahan kaum terpelajar asli Irian di Jayapura maupun di Jakarta.

Walaupun penahanannya dipertanyakan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) maupun teman-teman Arnold yang lain di Jayapura dan di Jawa, sampai awal 1984(5) tak tampak tanda-tanda bahwa ia akan diajukan ke pengadilan. Ia hanya dipindahkan dari tahanan Kopassandha ke tahanan Polda.

Seorang teman Arnold yang juga anggota inti Kelompok Mambesak, Eddy Mofu, malah mendadak juga ikut ditahan bersamanya.

Ketidakjelasan status sang budayawan Irian ini, menambah keresahan kawan-kawannya di Jayapura dan Jakarta. Kegelisahan mereka akhirnya mendorong dua peristiwa pelarian politik ke luar negeri. Di Jayapura, pada tanggal 8 Februari 1984, puluhan teman dan simpatisan Arnold Ap melarikan diri ke Vanimo dengan menggunakan perahu bermotor. Dalam rombongan itu termasuk isteri Arnold, Corry, bersama tiga orang anaknya yang masih kecil serta bayi di dalam kandungannya.

Sementara itu di Jakarta, empat pemuda Irian -- Johannes Rumbiak, Jopie Rumajau, Loth Sarakan, dan Ottis Simopiaref -- yang mempertanyakan nasib Arnold ke DPR-RI, akhirnya terpaksa minta suaka ke Kedutaan Besar Belanda, setelah mereka ketakutan akibat dicari-cari oleh aparat keamanan di tempat penginapan mereka (Kobe Oser, 1984).

Di tengah-tengah gejolak politik beginilah, "tawaran" kepada Arnold dkk untuk melarikan diri dari tahanan Polda guna menyusul keluarga dan kawan-kawan mereka di Vanimo, tampaknya sangat menggiurkan. Celakanya, tawaran itu tampaknya hanyalah suatu jebakan, yang berakhir dengan meninggalnya sang budayawan di RS Aryoko, Jayapura, tanggal 26 April 1984 (Osborne, 1985 dan 1987: 152-153; Anon., 1984 dan 1985; Ruhukail, 1985).

Sekitar lima ratus orang ikut mengantar jenazah sang seniman ke tempat peristirahatannya yang terakhir di pekuburan Kristen Abe Pantai, berdampingan dengan makam sahabat dan saudaranya, Eddy Mofu, yang sudah meninggal pada hari pertama pelarian mereka dari tahanan pada hari Minggu Paskah, 22 April 1984.

Kematian sang seniman ikut melecut arus pengungsi tambahan ke Papua Niugini. Sementara mereka yang sudah lebih dahulu lari ke sana, ikut memperingati kematian teman mereka, sambil menghibur sang janda, Corry Ap.

Kematian budayawan asli Irian ini menambah simbol nasionalisme Papua, karena berbagai fraksi OPM di luar negeri, berlomba-lomba mengklaim Arnold Ap sebagai orang yang diam-diam menjadi "Menteri Pendidikan & Kebudayaan" mereka di dalam kabinet bawah tanah OPM di Irian Jaya. Ada yang juga menyebut sang seniman adalah seorang "konoor modern", merujuk ke para penyebar kabar gembira dalam mitologi mesianistik Biak, Koreri (Osborne, 1987: 149).

Namun selang beberapa tahun, legenda itu mulai pudar. Lebih-lebih karena para penerus Kelompok Mambesak yang masih tetap bernaung di bawah kelepak sayap museum Uncen, tak ada yang mampu (atau berani?) menghidupkan kembali peranan kelompok senibudaya itu menjadi ujung tombak kebangkitan kebudayaan Irian.

Sedangkan di Negeri Belanda, ke mana isteri dan anak-anak Arnold Ap diizinkan mengungsi oleh pemerintah Papua Niugini, kelompok-kelompok OPM mencoba memproyeksikan jandanya, Corry Ap, bagaikan figur Corry Aquino yang juga kehilangan suaminya karena keyakinan politik sang suami, Benigno ("Ninoy") Aquino. Namun Corry Ap bukan Corry Aquino, dan setelah bosan dengan usaha-usaha politisasi dirinya, janda sang seniman menarik diri dari kehidupan publik dan membatasi peranannya (yang sudah cukup berat) sebagai ibu, ayah, dan pencari nafkah, bagi keempat orang anak laki-lakinya di negeri yang tak selalu ramah terhadap para migran berkulit hitam.

14 Desember 1988
Seperti yang telah disinggung di depan, "proklamasi dan pengibaran bendera OPM" yang dilakukan Tom Wanggai di stadion Mandala, Jayapura, sangat berbeda dari pada berbagai proklamasi dan pengibaran bendera OPM sebelumnya. Tampaknya cendekiawan asli Irian asal Serui ini, sudah berpamitan dengan (sebagian besar) bekal historis OPM yang sebelumnya.

Bendera "Melanesia Barat" yang dikibarkannya, berbeda dari bendera "Papua Barat" yang sebelumnya.

Konon menurut ceritera, bendera "Papua Barat" yang sebelumnya, termasuk yang dikibarkan Seth Jafet Rumkorem di Markas Victoria pada tanggal 1 Juli 1971, dirancang oleh seorang bangsa Belanda yang lazim dipanggil "Meneer Blauwwit", mertua tokoh OPM tua di Belanda, Nicholaas Jouwe. Ketiga warnanya -- merah, putih, dan biru -- meniru ketiga warna bendera Belanda.

Sedang ke-13 garis warna putih dan biru, menandakan ke-13 propinsi dalam negara Papua Barat yang akan dibentuk, seandainya Soekarno tidak segera mengintervensi dengan Tri Komando Rakyatnya. Hanya bintang putih di atas landasan merah di bendera Papua Barat itu memberikan unsur "pribumi" pada bendera Papua Barat ciptaan Belanda itu. Itulah bintang kejora, sampari dalam bahasa Biak, yakni lambang kemakmuran yang akan datang dalam mitologi Koreri.

Juga "lagu kebangsaan" OPM berjudul "Hai Tanahku, Papua", yang sering dinyanyikan dalam upacara-upacara OPM, adalah ciptaan seorang Belanda, Pendeta Ishak Samuel Kijne. Nama pendeta seniman itu diabadikan dalam STT GKI Irja di Abepura. Tampaknya, lagu kebangsaan lama itu pun sudah ditinggalkan oleh Tom Wanggai. Sedangkan "wawasan nasional" atau wilayah negara merdeka yang dicita-citakannya juga tidak lagi terbatas pada wilayah Papua Barat yang diancang-ancang oleh Belanda dan diresmikan oleh Rumkorem.

BEGITULAH lima tonggak sejarah dalam evolusi nasionalisme Papua atau Melanesia Barat di Irian Jaya.

Pertanyaannya sekarang: apakah nasionalisme Papua yang sudah tumbuh-kembang selama seperempat abad, yang berhasil diremajakan dari generasi ke generasi, dengan pelebaran variasi profesi dan peningkatan tingkat pendidikan mereka yang tampil memimpin, akan pudar? Ataukah nasionalisme Papua ini akan bertumbuh semakin kuat? Setidak-tidaknya, terus bertahan melalui proses peremajaan aktor-aktornya? Lalu, kalau melihat bukti-bukti historis yang ada, nasionalisme Papua semakin kuat, bagaimana sebaiknya jawaban orang-orang Indonesia (yang lain)? Apakah jawabannya harus selalu lewat peluru, ataukah lewat kotak suara?Solution by bullet , or solution by ballot ? Selain itu, apakah kita harus terus meniru politik pasifikasi Belanda, dengan hanya membalik orientasi geografisnya? Di zaman Belanda, para pejuang kemerdekaan Hindia Belanda yang dianggap "berbahaya" dibuang ke Irian, sementara sekarang, para pejuang kemerdekaan Irian Jaya yang juga dianggap semakin berbahaya, dilihat dari vonis hukumannya yang meningkat dari tujuh ke 20 tahun, dibuang ke Kalisosok dan penjara-penjara lain di Jawa. Sudah betul, bijaksana, dan etiskah reproduksi politik Belanda yang demikian?


Sumber; angisantanah.blogspot.com

Kajian Pelaksaan PEPERA 1969

Selasa, 19 Februari 2013


Tinjauan Perjanjian New York
15 Agustus 1962 Pasal XVIII
Oleh : John Anari, Amd. T
Sumber: Frits Kirihio (Tokoh Sejarah Papua).
Piagam PEPERA
Sumber: DEPEN RI
"Indonesia will make arrangements, with the assistance and participation of the United Nation Representative and his staff, to give the people of the territory the opportunity to exercise freedom of choice. Such arrangements will include: (a) Consultations (Musyawarah) with the representative councils on procedures l and appropriate methods to be followed for ascertaining the freely expressed will of the population; (d) The eligibility of all adults, male and female, not foreign nationals, to participate in the act of self-determination to be carried out in accordance with international practice, who are resident at the time of the signing of the present Agreement and at the time of the act of self-determination, including those residents who departed after 1945 and who return to the territory to resume residence after the termination of Netherlands administration."

Berdasarkan Pasal XVIII Perjanjian New York, dinyatakan secara jelas bahwa Pemerintah Indonesia akan melaksanakan pepera dengan bantuan dan partisipasi dari utusan PBB dan Stafnya untuk memberikan kepada rakyat yang ada di Papua kesempatan menjalankan penentuan pendapat secara bebas. Kemudian melakukan konsultasi dengan Dewan-Dewan Kabupaten yang ada di Papua untuk membicarakan metode pelaksanaan pepera ini. Selanjutnya, seluruh orang dewasa, baik laki-laki atau perempuan memiliki hak pilih untuk berpartisipasi dalam penentuan nasib sendiri yang akan dijalankan sesuai dengan aturan internasional. Dimana mereka yang punya hak pilih itu adalah mereka yang tinggal di Papua saat Perjanjian New York ditandatangani dan mereka yang berada di Papua ketika PEPERA dilaksanakan, termasuk mereka penduduk Papua yang meninggalkan Papua setelah 1945 dan kembali ke Papua dan menguruskan kembali kependudukannya setelah berakhirnya pemerintahan Belanda.
Namun ternyata Pemerintah Indonesia hanya melakukan konsultasi dengan Dewan Kabupaten di Jayapura tentang tatacara penyelenggaraan PEPERA pada tanggal 24 Maret 1969. Kemudian diputuskan membentuk Dewan Musyawarah PEPERA (DMP) dengan anggota yang berjumlah 1026 anggota dari delapan kabupaten, yang terdiri dari 983 pria dan 43 wanita.
Tabel Perbandingan Peserta DMP dan Total Penduduk Papua Tahun 1969
Sumber: Editor by John Anari

Yang mana, para anggota DMP itu ditunjuk langsung oleh Indonesia (Tidak melalui Pemilihan Umum di tiap-tiap Kabupaten) dan dibawah intimidasi serta ancaman Pembunuhan oleh Pimpinan OPSUS (Badan Inteligen KOSTRAD) Mr. Ali Murtopo.
Sedihnya lagi, para anggota DMP itu ditampung di suatu tempat khusus dan dijaga ketat oleh Militer sehingga mereka (anggota DMP red) tidak bisa berkomunikasi atau dipengaruhi oleh keluarga mereka. Setiap hari mereka hanya diberi makan nasehat supaya harus memilih bergabung dengan Indonesia agar nyawa mereka bisa selamat.
Komandan OPSUS: Brig.Jend. Ali Murtopo
Sumber: Wikipedia
Sebelum menjelang PEPERA yang dimulai di Merauke pada tanggal 14 Juli 1969 dan di akhiri di Jayapura pada tanggal 4 Agustus 1969, datanglah suatu tim dari Jakarta yang diketuai oleh Sudjarwo Tjondronegoro, SH. Tim tersebut tiba di Sukarnopura (Hollandia/Kota Baru / Sekarang Jayapura ) dan kemudian didampin- gi oleh beberapa anggota DPRGR Propinsi Irian Barat untuk berkeliling ke setiap kabupaten se Papua Barat. Tim ini mengadakan pertemuan-pertemuan awal dengan para tokoh masyarakat dan adat untuk menyampaikan tekhnis-tekhnis pelaksanaan PEPERA bila tiba hari H. Pelaksanaan PEPERA adalah secara formalitas saja, untuk memenuhi New York Agreement, maka diusahakan untuk secara aklamasi dan bukan secara perorangan. Agar bunyi penyampaian agar seragam, maka akan disiapkanlah konsep-konsepnya dan Anggota DMP tinggal baca saja dan bagi mereka yang tidak bisa baca/tulis disuruh menghafal untuk kelancaran pelaksanaan PEPERA. Para anggota DMP kemudian ditampung di suatu penampungan khusus dan dijaga ketat oleh Militer serta selalu diteror-teror oleh Pimpinan OPSUS (Mr. Ali Murtopo Pimpinan Badan Inteligen Kostrad). Mereka berkali-kali diujicoba untuk meyakinkan bahwa nantinya penyampaian pendapat tidak berbeda satu dengan yang lain. Semuanya harus memilih "Papua Barat menjadi bagian integral dari Indonesia". Tim dari Jakarta melakukan kegiatan keliling Papua Barat tanggal 24 Maret hingga 11 April 1969. Surat Keputusan (SK) Menteri Dalam Negeri (MENDAGRI) 31/1969 menetapkan jumlah anggota Dewan Musyawarah PEPERA (DMP). Tanggal 25 Maret 1969 dibentuklah anggota panitia pembentukan DMP. Setiap kabupaten ditunjuk 9 orang. Maka dari 8 kabupaten yang ada terdapat jumlah 72 orang yang ditunjuk untuk menjadi anggota Panitia Pembentukan DMP. Setiap kabupaten dipilih anggota DMP oleh Indonesia serta sesuai dengan konsep dan perencanaan Pemerintah Jakarta.
Pembukaan PEPERA di Kabupaten Merauke pada 14 Juli 1969.
Sumber: DEPEN RI, capture by John Anari
Kemudian pelaksanaan sidang dapat dilakukan di setiap kabupaten. Teknis pelaksanaan telah diatur sedemikian rupa sehingga jumlah 1.025 orang ini juga terdiri dari, bukan saja bangsa pribumi, tapi juga bangsa pendatang dari Indonesia. yang dalam waktu singkat telah menjadi pegawai negeri, petani, nelayan, sejak 1963. Bangsa pendatang diberi status yang sama dengan penduduk pribumi untuk dapat menjadi anggota DMP. Sorong, Manokwari, Biak dan Numbay (Jayapura) dianggap sebagai daerah rawan. maka menjelang July 1969 telah didropping pasukan untuk mengawasi jalannya PEPERA, yaitu : KOPASANDA (sekarang KOPASUS), Raider, dan Polisi. Sehingga akhirnya dengan rasa sedih yang dalam terpaksa para anggota DMP itu harus memilih Bergabung dengan NKRI di depan Utusan PBB Mr. Fernando Ortisan. Walaupun ada terjadi sedikit gerakan protes oleh rakyat Papua di luar gedung PEPERA tetapi disapuh bersih oleh Militer Indonesia dengan Senjata dan Meriam, diculik, dibunuh, disiksa, dan dihina-hina bahwa orang Papua bodoh. Para wartawan pada saat itu pun juga dilarang oleh Militer Indonesia untuk meliput proses Penentuan Pendapat itu.
Photo: Situasi Pelaksanaan PEPERA dalam Ruangan Tertutup dan Rahasia di Fakfak

Sayangnya, mengapa tak ada Pasukan PBB yang mengawasi tetapi justru diawasih oleh Tentara Indonesia yang jumlahnya melebihi utusan PBB.
Setelah berakhirnya proses Jajak Pendapat (Self Determination ) tersebut, para anggota DMP tersebut diberi Radio, Gergaji, dan Sekap/Ketam serta dijanjikan akan diberi uang. Kemudian pada tahun 1976 mereka (Anggota DMP) diberi piagam penghargaan dengan uang tunai Rp. 200.000,- lalu tahun 1992 pada saat PEMILU bekas anggota DMP diberikan uang Rp. 150.000,-. Uang berjumlah Rp. 14 milyard yang dikirim dari Jakarta untuk bekas anggota DMP sebagian besar dikorupsi oleh para pejabat tinggi yang ditugaskan dari Jakarta.

Apakah Proses Jajak Pendapat di Tanah Papua itu sudah sesuai dengan Aturan Internasional yang termuat dalam Perjanjian New York 15 Agustus 1962 Pasal 18 ? Ternyata pelaksanaan PEPERA itu hanya Formalitas karena mengikuti Perjanjian Roma Tanggal 30 September 1962 Ayat 1 yang berbunyi PEPERA dibatalkan atau bila perlu dihapuskan saja. Tetapi pada ayat 2 mengatakan bahwa Indonesia mengurus Papua hanya 25 Tahun saja, terhitung mulai 1 Mei 1963. (Info lengkap tentang Perjanjian Roma bisa dilihat di http://www.oocities.org/west_papua/Rome_Agreement.htm).
Dengan adanya perjanjian ini, maka Indonesia bisa masuk ke Papua mulai tanggal 1 Mei 1963, mengirim Transmigrasi mulai tahun 1977, menerima bantuan Dana PBB sebesar US $. 30 Juta untuk membangun Papua, Dana ini disebut FUNDWI (Fund United Nation Donatur for West Irian). Dana ini dipakai oleh Pemerintah Indonesia untuk membangun Perhubungan Laut, Darat, dan Udara tetapi sayangnya Pelabuhan Laut, Darat, dan Udara pada tahun 60-an tak ada perubahan apapun juga karena itu masih seperti peninggalan Belanda. Namun sekitar tahun 1980-an baru mulai ada perubahan. Selain itu, juga telah diadakan penanda tanganan kontrak karya Freeport McMoran pertama pada tahun 1967 sebelum Referendum 1969 karena dalam Rome Agreement telah diberikan ijin kepada Amerika untuk menanam Saham di Indonesia demi kemajuan Papua.?
Dengan adanya Perjanjian Roma ini, maka Papua tidak disahkan dengan Ketetapan MPR atau Undang-Undang seperti Timor Leste yang dipaksakan gabung ke NKRI dengan Ketetapan MPR namun sudah dicabut oleh Ketetapan MPR lagi karena East Timor telah Merdeka. Karena itulah, tak ada kepastian hukum di Negara Indonesia untuk menjamin Hak-hak Orang Papua sebagai Warga Negara Indonesia. Kalau memang PEPERA sah, mengapa tidak disahkan oleh Ketetapan MPR/UU melainkan hanya disahkan menjadi Provinsi 27 suatu Penetapan Presiden (Penpres) no 1 tahun 1963. Kemuadian Penpres no 1 tahun 1963 ini tidak pernah dimajukan ke Parlemen untuk ditetapkan sebagai Peraturan Pemerintah Pengganti UU sesuai dengan bunyi pasal 20 UUD 1945. Dengan PENPRES ini pula diberlakukannya Otonomi Khusus pertama bagi Papua namun setelah Soekarno dijatuhkan dengan Isu G 30 S PKI, maka dicabutlah kedudukan Khusus itu oleh Presiden Soeharto melalui Ketetapan MPRS no.21 Tahun 1966 Pasal 6. Lalu dikembalikan lagi menjadi Otonomi Khusus kedua dengan UU no.21 tahun 2000 oleh Presiden Megawati.
Berdasarkan hal tersebut sehingga tidak adanya kepastian hukum untuk menjamin hak hidup orang Papua di dalam Negara Kesatuan Indonesia. Atau secara kasar status Papua adalah daerah (tanah Jajahan) di dalam Negara Indonesia. Akibatnya penduduk tanah Papua tidak turut menikmati hak-hak warga sipil, timbul diskriminasi rasial yang selalu memojokan orang Papua itu Hitam, Keriting, Bodoh, Monyet, Bau, dan tidak pantas bekerja di luar pulau Papua sebagai pekerja handal seperti : Teknisi, Pejabat Pemerintah maupun Swasta. Salah satu contoh dapat kita lihat di perusahaan Raksasa yang sekarang beroperasi di Papua seperti Freeport dan BP. Di BP hanya terdapat 6 orang Papua sebagai Tenaga Engineer namun karena adanya diskriminasi sehingga 1 orang Geologi telah mengundurkan diri. Lalu 1 orang Staff IT (Information and Technology) telah dikeluarkan dari BP karena ia banyak memprotes tentang Diskriminasi terhadapnya di Departemen DCT (Digital Communication and Technology) BP Indonesia. Sehingga sekarang tenaga Engineer orang Papua di BP hanya tinggal 4 orang yaitu 1 orang Kimia, 1 orang Geologi, dan 2 orang IT. Sedangkan tenaga Engineer lainnya ditutupi oleh kaum pendatang, dan ada beberapa kritikan dari Perfomance Manager DCT bahwa BP tidak butuh orang Papua di IT tetapi karena kasihan makanya diterima orang Papua. Selain itu, Pemain sepak Bola PERSIPURA pun banyak dihina "Monyet" pada saat bertanding di luar Jayapura. Masih banyak kasus diskriminasi rasial terhadap orang Papua dan akan terus berlangsung selama daerah Papua berada dalam NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia)
Tambang PT. Freeport Indonesia di Gunung Grasberg - Tembagapura
Sumber: Download dari google
Lokasi BP LNG Tangguh di Tanah Merah - Teluk Bintuni
Jadi, kesimpulannya bahwa proses jajak Pendapat (Act of Free Choice/Self Determination) tahun 1969 tidak sesuai dengan pasal 18 Perjanjian New York yang ditanda-tangani di Markas Besar PBB, New York - Amerika Serikat pada tanggal 15 Agustus 1962.

Sumber.oppb.webs.cn



komenta berita terbaru