. Keriting News - Voice Of Tgidoo: seputar papua
TIGIDOO VOICE website | Members area : Register | Sign in


Tampilkan postingan dengan label seputar papua. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label seputar papua. Tampilkan semua postingan

Hak Hidup Orang Papua Di Hilangkan Oleh Penjajah

Minggu, 06 Juli 2014

Steven Peyon
Setelah Indonesia, Amerika, Belanda menggadaikan alam Papua, Indonesia bersama kekuatan militer juga masih saja menghilangkan panggilan hidup yang telah dianugrahkan kepada anak-anak Papua. Kekejaman  dan kekerasan militer telah menghilangkan panggilan hidup anak bangsa Papua. Fakta yang selama ini terjadi di Papua, banyak orang tua yang dikejar-kejarolehmiliter, banyak orang tua yang di penjarahkan oleh militer, dan banyak orang Papua yang dibunuh oleh militer Indonesia.

 Hal ini telah berdampak terhadap anak-anak yang sedang berada di bangku pendidikan.Banyak anak-anak tidak lanjut sekolah, banyak mama-mama yang tidak berjualan, dan banyak orang Papua lainnya takut bereskpresikan hidupnya.

 Mari kita bertanya kepada anak-anak yang tidaks ekolah; kenapa kamu tidak lanjut sekolah? Karena tidak ada biaya. Kenapa tidak ada uang untuk membiayai sekolah? Karena orang tuanya sudah dipenjarahkan atau sudah dibunuh oleh militer Indonesia. Manamungkin seorang anak kecil mendapatkan uang tanpa berperan penting oleh kedua orang tua. Itulah jawaban dari anak-anak Papua yang tidak sekolah

 Marilah kita Tanya kepada mama Papua yang tidak berjualan; kenapa tidakberjualan lagi? Karena di dekat Pasar ada banyak militer yang sedang jalan kesana-kesini dan mereka mencurigai kami isteri-isteri dari OPM. Militer selalu bertanya-tanya kepada kami, apakah kamu isteri dari OPM, apakah kami sudara dari OPM dan lain sebagainya. Hal-hal inilah yang membuat kami tidak mau berjualan lagi. Demikian jawaban dari mama-mama Papua yang tidak berjualan.

 Mari kita Tanya kepada kaum muda Papua yang tidak bereskpresikan hidupnya. Kenapa kamu tidak bekerja padahal kamu sudah selesai pendidikan? Saya tidak mau bekerja di lembaga atau di pemerintahan mana pun karena apabila saya bekerja dan saya melakukan hal-hal yang menguntungkan bagi saya, keluarga saya, dan masyarakat Papua pasti militer Indonesia mencurigai saya OPM dan militer akan kejar-kejar saya. Demikian jawaban dari kaum muda Papua yang masih ngangur.

Apabila anak-anak Papua tidak sekolah karena kedua orang tua dipenjarahkan dan dibunuh oleh militer maka anak-anak tersebut telah kehilangan panggilan hidup yang telah ditentukan oleh ALLAH. Siapa yang menghilangkan panggilan hidup anak bangsa Papua? Jawabannya spontan saja “Negara Indonesia bersama kekuatan militer Indonesia”. lalu, siapa yang berdosa apabila tidak menjalankan hidup sesuai panggilan ALLAH? Bukan orang tua, bukan anak-anak Papua tetapi Indonesia dan militer. Maksih sudah panen dosa.

Apabila mama Papua tidak berjualan karena kekerasan militer berarti mama-mama Papua telah kehilangan panggilan hidup yang sesungguhnya dari ALLAH. Siapa yang menghilangkan panggilan hidup mama-mama Papua yang sesungguhnya?Negara Indonesia dan militer Indonesia. Lalu siapa yang berdosa, mama-mama Papua atau Negara/militer? Jawabannya Indonesia selamat panen dosa

 Itulah situasi yang terjadi di Papua. Amerika, Belanda, dan Indonesia menggadaikan tanah Papua dan kekayaan alam Papua sementarai tu, Indonesia bersama kekuatan militer juga sedang menghilangkan panggilan hidup yang sesungguh bagi manusia Papua

“Negara Indonesia selamat memetik dosa-dosa politik di bumi Papua dan awas jangan sampai meleda kpada saatnya”

By Steven Peyon

SERUAN; UNTUK ORANG PAPUA YANG SIBUK KAMPAYE KLONIAL INDONESIA

Sabtu, 05 Juli 2014


 Perhatian untuk orang-orang Papua yang terlena dan sibuk kampanye Capres Jokowi dan Prabowo!

Engkau mau sibuk sampai banting tulang juga, Indonesia tidak butuh 2 juta suara orang Papua dibanding 187 juta suara di daerah lain Indonesia. Indonesia hanya butuh kepatuhan anda dalam Pilpres agar mereka dapat menunjukan kepada dunia bahwa orang Papua setia pada Penjajah yang sedang menjajah West Papua.

Uang dan jabatan dalam kolonial Indonesia tidak akan menyelamatkan anda, keluarga, suku dan bangsamu dari laju pemusnahan yang sedang terjadi. Sangat memalukan dan memilukan bila anda sibuk suksesi Pilpres, sementara hari-hari di depan mata: orang Papua terus dibunuh seperti binatang, tanah dan sumber daya alam anda terus dikuasai dan dirampok.

Saudaraku! Pilihan ada pada anda; Apakah tunduk dan mati dalam kolonialisme Indonesia? atau berdiri dan melangkah maju untuk menentukan nasib anda sendiri! Keselamatan bangsa papua ditentukan oleh sikap dan tindakan anda hari ini!

Salam erat-erat!

Victor Yeimo
Penjara Abepura

Bripka Suhendra, Tembak Pipi Sendiri Alias Bunuh Diri (Anggota Brimob Polda Papua)

Sabtu, 30 November 2013


VOT- Kabar seorang anggota Brimob Polda Papua Bripka Suhendra yang tertembak oleh gerakan sipil bersenjata langsung dibantah oleh Wakapolda Papua Brigjend Pol Paulus Waterpaw. Korban yang mengalami luka tembak di pipi kanannya itu adalah akibat ulahnya sendiri yang ketika sedang membersihkan senjata miliknya tiba-tiba meletus.Wakapolda Papua Mengatakan Insiden tersebut Adalah Kecelakaan kerja Bukan tertebak oleh Sipil Bersenjata.
..............................
 Awalnya Diberitakan Oleh Beberapa Media Kolonial Indonesia Sebagai Berikut:

Seorang anggota polisi kembali menjadi korban penembakan di Papua, Sabtu (30/11). Polisi itu diketahui bernama Bripka Suhendra.

Seperti dilansir dari merdeka.com , korban sehari-hari bertugas sebagai anggota Brimob Polda Papua. Bripka Suhendra ditembak oleh orang tak dikenal di Kawasan Depapre, Kabupaten Jayapura, Papua.

Korban saat ini langsung dilarikan ke rumah sakit. Kondisi korban masih belum diketahui.

Kasus ini menambah panjang daftar penembakan terhadap polisi. Di Papua, polisi kerap kali menjadi korban penembakan oleh orang tak dikenal.


Video News TVONE : KLIK HERE

 

Pecahnya Indonesia Pada Tahun 2015

Selasa, 19 November 2013

Djuyoto Memprediksi Tahun 2015 Indonesia Pecah. Beragam reaksi dan tanggapan muncul ketika wacana tentang masa depan Indonesia, yang juga dijadikan judul buku oleh Djuyoto Suntani, itu muncul dalam acara Dialog Kebangsaan berjudul Indonesia: Kemarin, Kini dan Esok sekaligus peluncuran buku tersebut. Komentar bernada pesimis, optimis, hingga rasa tidak percaya silih berganti diberikan oleh berbagai pihak yang hadir di Gedung Aneka Bhakti Departemen Sosial kemarin. Mungkinkah Indonesia benar-benar akan ‘pecah’ pada tahun 2015?

Djuyoto Suntani, sang penulis buku, menyatakan dalam bukunya paling tidak ada tujuh faktor utama yang akan menyebabkan Indonesia “pecah” menjadi 17 kepingan negeri-negeri kecil di tahun 2015. Kepingan negeri-negeri kecil itu sendiri menurutnya didirikan berdasarkan atas:

1. Kepentingan rimordial (kesamaan etnis),
2. Ikatan ekonomis (kepentingan bisnis),
3. Ikatan kultur (kesamaan budaya),
4. Ikatan ideologis (kepentingan politik), dan
5. Ikatan regilius (membangun negara berdasar agama).

Penyebab pertama adalah siklus tujuh abad atau 70 tahun. Dalam bukunya ia menuliskan;
“Seperti kita ketahui, semua yang terjadi di alam ini mengikuti suatu siklus tertentu. Eksistensi suatu bangsa dan negara juga termasuk dalam suatu siklus yang berjalan sesuai dengan ketentuan hukum alam. Dia mengambil contoh Kerajaan Sriwijaya yang berkuasa pada abad 6-7 M di mana waktu itu rakyat di kawasan Nusantara bersatu di bawah kepemimpinannya. Memasuki usia ke-70 tahun kerajaan itu mulai buyar dan muncul banyak kerajaan kecil yang mandiri berdaulat. Alhasil, di awal abad ke-9 nama Kerajaan Sriwijaya hanya tinggal sejarah. Tujuh abad kemudian (abad 13-14 M) lahir Kerajaan Majapahit di Trowulan, Jawa Timur sekarang. Kerajaan besar itu berhasil menyatukan kembali penduduk Nusantara. Namun, kerajaan ini pun bernasib sama dengan Sriwijaya. Memasuki usia ke-70 pengaruhnya mulai hilang dan bermunculanlah kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara. Nama Majapahit pun hilang ditelan bumi. Tujuh abad pasca-jatuhnya Majapahit, di tahun 1945 (abad 20) rakyat Nusantara kembali bersatu dalam suatu ikatan negara bangsa bernama Republik Indonesia (abad 20-21). Tahun 2015 akan bertepatan RI merayakan HUT-nya yang ke-70″.

Dia pun menyatakan,
“Selama ini saya selalu optimis, tapi melihat perkembangan di lapangan, apa yang terjadi pada sesama anak bangsa, sungguh mengenaskan. Irama perpolitikan nasional dewasa ini mengisyaratkan hitungan siklus bersatu dan bubar dalam tujuh abad, 70 tahun tampaknya kembali terulang. Berbagai fenomena alam yang menguat ke arah bukti kebenaran siklus sudah banyak kita saksikan. Pertengkaran sesama anak bangsa, terutama elite politik, tidak kunjung selesai, tulis Djuyoto. Penyebab kedua, Indonesia telah kehilangan figur pemersatu bangsa. Setelah Ir Soekarno dan HM Soeharto, tidak ada tokoh nasional yang benar-benar bisa mempersatukan bangsa ini. Masing-masing anak bangsa selalu merasa paling hebat, paling mampu, paling pintar, dan paling benar sendiri. Para tokoh nasional yang memimpin negeri ini belum menunjukkan berbagai sosok negarawan karena dalam memimpin lebih mengutamakan kepentingan politik golongan/kelompok daripada kepentingan bangsa (rakyat) secara luas. Kehilangan figur tokoh pemersatu adalah ancaman paling signifikan yang membawa negeri ini ke jurang perpecahan”. Katanya tegas.

Pertengkaran sesama anak bangsa yang sama-sama merasa jago dan hebat, masing-masing punya kendaraan partai, punya jaringan internasional, punya dana/uang mandiri, punya akses, merasa punya kemampuan jadi Presiden; merupakan penyebab ketiga Indonesia akan pecah berkeping-keping menjadi negara-negara kecil. Masing-masing tokoh ingin menjadi nomor satu di suatu negara. Fenomena ini sudah menguat sejak era reformasi yang dimulai dengan diterapkannya UU Otonomi Daerah.

Salah satu penyebab Indonesia akan pecah di tahun 2015 karena adanya konspirasi global. Ada grand strategy global untuk menghancurkankeutuhan Indonesia. Ada skenario tingkat tinggi yang ingin menghancurkan Indonesia atau bahkan menghilangkan nama Indonesia sebagai negara bangsa, tegasnya. Konspirasi global ini, Djuyoto Suntani melihat, terus bergerak dan bekerja secara cerdas dengan menggunakan kekuatan canggih melalui penetrasi budaya, penyesatan opini, arus investasi, berbagai tema kampanye indah seperti demokratisasi, hak asasi manusia, kesetaraan gender, modernisasi, kebebasan pers, kemakmuran, kesejahteraan, sampai pada mimpi-mimpi indah lewat bisnis obat-obatan terlarang dengan segmen generasi muda.

Penyebab utama kelima Indonesia akan”‘pecah” dalam penilaiannya adalah faktor nama. Apa yang salah dengan nama? Ternyata, nama Indonesia sesungguhnya berasal dari warisan kolonial Belanda yakni East-India atau India Timur alias Hindia Belanda. Kalangan tokoh politik Belanda tingkat atas malah sering menyebut Indonesia dengan singkatan: In-corporate Do/e-Netherland in-Asia atau kalau diartikan secara bebas
nama Indonesia sama dengan singkatan Perusahaan Belanda yang berada di Asia. Pemberian nama Indonesia oleh Belanda memang memiliki agenda politik tersembunyi sebab Belanda tidak rela Indonesia menjadi bangsa dan negara yang besar. Nama orisinil kawasan negeri ini yang benar adalah Nusantara, yang berasal dari kata Bahasa Sansekerta Nusa (pulau) dan Antara. Artinya, negara yang terletak di antara pulau-pulau terbesar dan terbanyak di dunia sebab negara kita merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Bila para anak bangsa tahun 2015 mampu menyelamatkan keutuhan negeri ini sebagai satu bangsa, salah satu opsi adalah dengan penggantian nama dari Indonesia menjadi Nusantara. Nama Nusantara lebih relevan, orisinil, berasal dari jiwa bumi sendiri dan lebih membawa keberuntungan, pesan Djuyoto. Namun, karena perpecahan sudah di ujung tanduk, salah satu agenda dalam membangun komitmen baru sebagai bangsa dalam pandangannya adalah dengan cara (perlu direnungkan) mengganti nama Indonesia menjadi Nusantara. Karena, nama memiliki arti serta memberi berkah tersendiri. Tidak hanya nama Indonesia yang bisa menjadi penyebab negeri ini pecah, nama Jakarta pun ternyata ikut berpengaruh terhadap keutuhan republik ini.

Nama Jakarta, Djuyoto mengungkapkan, memiliki konotasi negatif bagi sebagian besar masyarakat. Bila kita ingin menyelamatkan Indonesia dari ancaman perpecahan serta punya komitmen bersama untuk membawa negara ini menjadi negara besar yang dihormati dunia internasional, maka nama ibukota negara seyogianya dikembalikan kepada nama awalnya yaitu Jayakarta. Nama Jayakarta lebih tepat sebagai roh spirit Ke-Jaya-an Ibukota negara daripada nama Jakarta, sarannya.

Penyebab terakhir pecahnya Indonesia adalah gonjang ganjing pemilihan Presiden tahun 2014. Dia menyatakan dalam Pilpres 2009 bisa saja sejumlah tokoh yang kalah masih mampu mengendalikan diri tapi gejolak massa akar rumput yang berasal dari massa pendukung tidak mau menerima kekalahan jago pilihannya. Mereka lalu mempersiapkan diri untuk maju bertarung lagi pada Pilpres 2014. Pilpres 2014 adalah puncak ledakan dashyat gunung es yang benar-benar membahayakan integrasi Indonesia. Menurut Djuyoto dari informasi yang ia peroleh di seluruh penjuru Tanah-Air, indikasi karena gengsi kalah bersaing dalam Pilpres Indonesia lantas mengambil keputusan radikal dengan mendeklarasikan negara baru bukanlah sekedar omong kosong tapi akan terbukti. Pergolakan alam negeri ini seperti gunung es yang tampak tenang di permukaan namun setiap saat pasti meletus dengan dashyat.

Djuyoto Suntani menjelaskan, pada Pilpres 2014 bakal bermunculan figur dari berbagai daerah yang mulai berani bertarung memperebutkan kursi RI-1 untuk bersaing dengan tokoh nasional di Jakarta. Para tokoh daerah sudah dibekali modal setara dengan para tokoh nasional di Jakarta. Jika mereka kalah dalam Pilpres 2014, karena desakan massa pendukung, opsi lain adalah mendirikan negara baru, melepaskan diri dari Jakarta. Gonjang ganjing Indonesia sebagai bangsa akan mencapai titik didih terpanas pada Pilpres 2014. Jika kita tidak mampu mengendalikan keutuhan negeri ini, tahun 2015 Indonesia benar-benar pecah. Para Capres Indonesia 2014 yang gagal ramai-ramai akan pulang kampung untuk mendeklarasikan negara baru. Mereka merasa punya kemampuan, punya harga diri, punya uang, punya jaringan dan punya massa/rakyat pendukung. Perubahan dan pergolakan politik nasional pada tahun 2014 diperkirakan bisa lebih dashyat karena tidak ada lagi figur tokoh pemersatu yang dihormati dan diterima oleh seluruh bangsa.

Agar Indonesia tidak pecah, dia menyerukan seluruh elemen bangsa untuk bersatu dan bersatu. Dia berharap seluruh bangsa menyadari ancaman yang ada di depan mata dan kemudian saling bergandengan tangan bersatu untuk menyelesaikan semua permasalahan bangsa. Djuyoto bilang buku ini ditulis sebagai peringatan dini, sebagai salah satu wujud untuk berupaya menyelamatkan Indonesia dari ancaman kehancuran. Dengan adanya buku ini diharapkan semoga anak-anak bangsa mulai menyadari bahwa hantu Indonesia pecah sudah berada di depan mata. Kalau sudah paham, diharapkan mulai tumbuh kesadaran dari dalam hati lalu secara bersama-sama mengambil langkah untuk mencegah.


ke 18 negara itu antara lain.

1.Naggroe Atjeh Darrusallam : Banda Atjeh
2.Sumatra Utara : Medan
3.Sumatra Selatan : Lampung
4.Sunda Kecil : Jakarta
5.Jamar (Jawa Madura) : Surakarta
6.Yogyakarta : Yogyakarta
7.Kalimantan Barat : Pontianak
8.Kalimantan Timur : Samarinda
9.Ternate Tidore : Ternate
10.Sulawesi Selatan : Makassar
11.Sulawesi Utara : Manado
12.Nusa Tenggara : Mataram
13.Flobamora & Sumba: Kupang
14.Timor Leste : Dili
15.Maluku Selatan : Ambon
16.Maluku Tenggara : Tual
17.Papua Barat : Jayapura
18. Negara Riau Merdeka




















Source: bayumas3.blogspot.com

Selamatkan Budaya Papua dari Degradasi

Sabtu, 09 November 2013


JAYAPURA - Tanggal 31 Oktober dalam tahun ini diperingati sebagai Hari Budaya Papua. Peringatan Hari Budaya Papua telah digelar selama hampir  tujuh tahun belakangan ini bersamaan dengan HUT MRP. Tahun 2013 peringatan serupa akan digelar kembali. Peringatan Hari Budaya Papua yang rutin dilaksanakan ini, pada gilirannya dicanangkan dan diwacanakan oleh MRP tanggal 31 Oktober sebagai Hari Budaya bagi Tanah Papua.
Peringatan Hari Budaya yang digelar akhir pekan ini merupakan suatu momentum yang berharga bagi MRP dan bagi kita semua, dimana dalam perayaan nanti MRP berharap Pemerintah daerah dalam hal ini gubernur dan seluruh unsur muspida,  akan menyepakati moment 31 Oktober dalam tahun   ini diperingati sebagai Hari Budaya Papua. Hal itu dikatakan Wakil Ketua Pokja Adat MRP Aristarkus Marey, Kamis(24/10/2013) disela persiapan Hari Budaya Papua di Kantor MRP.
Menurut Aristarkus Marey, mengapa 31 Oktober diperingati sebagai Hari Budaya Papua tak lain adalah ingin memperlihatkan bahwa kebudayaan suatu bangsa menunjukkan harga diri dan jati diri pemilik budaya itu sendiri.


“Peringatan Haru Budaya Papua ini ketika dikaitkan dengan adat istiadatnya akhir-akhir ini telah tergerus jaman hingga mengalami degradasi terhadap nilai budaya Papua,” ujar Marey.
Dikatakan, nilai budaya luhur dan sakral yang dimiliki komunitas masyarakat adat di Papua yang diturunkan dan dihidupkan para leluhur itu sedikit demi sedikit berubah seiring perkembangan jaman ini, termasuk masuknya ilmu pengetahuan kedalam budaya turut mempengaruhi perilaku manusia dalam menyikapi segala hal. Dengan momentum Hari Budaya nanti dan kedepan serentak diperingati seluruh masyarakat Papua.
MRP sementara ini sedang mendorong peringatan Hari Budaya Papua ini diakomodir dalam sebuah Peraturan Daerah Provinsi atau Perdasus. Dalam perayaan 31 Oktober mendatang, MRP akan melihat celah-celah sebuah perangkat hukum yang menetapkan tanggal 31 Oktober itu.
Ia mencontohkan terjadinya degradasi budaya dalam hidup orang Papua sudah terjadi hal ini ditimbulkan oleh sikap acuh tak acuh yang tak mau menghargai budayanya sendiri. Sebuah realita penamaan salah satu jalan di daerah Papua yang namanya jalan Jenderal Sudirman sebenarnya penamaan itu kurang tepat, sebaiknya penamaan suatu jalan atau atau bangunan diberi nama tokoh lokal Papua yang harusnya diabadikan pada nama-nama jalan raya.
Menurut Ketua LMA Nabire ini, hal itu menunjukan gejala-gejala kurangnya penghargaan terhadap nilai budaya. Itulah sebabnya dalam perayaan 31 Oktober mendatang setelah gubernur bersedia mencanangkan moment 31 Oktober sebagai Hari Budaya Papua, maka MRP akan menyusulkan Perdasus  Hari Budaya Papua hingga kedepan peringatan Hari Budaya Papua tak diartikan sebagai kegiatan serimoni belaka melainkan menjadi sebuah Hari terjadinya perubahan yang menumbuhkan rasa cinta akan budaya termasuk cinta akan makanan khas daerah.
Momen itu kedepan akan jadi moment dimana semua masyarakat di masing-masing daerah mengangkat nilai budayanya, daerah yang punya kebiasaan makan keladi, hari itu semua diharuskan makan keladi, sagu dan lainnya. Kebiasaan ini merupakan satu cara melestarikan kebiasaan yang diturunkan leluhur di Papua agar tak digerus jaman hingga orang Papua tak dikatakan kehilangan identitas dan jatidirinya diatas tanah leluhurnya, ujar Marey mengingatkan.
Praktik berbudaya yang mengangkat hal-hal kecil seperti makanan khas daerah, perlahan namun pasti menunjukan bahwa kita mulai menghargai budaya kita sendiri tak hanya generasi jaman ini saja melainkan generasi  mendatang.

Ancaman degradasi budaya
 Ia melihat, ancaman terhadap degradasi budaya paling nyata nampak pada generasi muda saat ini, perilaku relasi kalangan anak muda saat ini tengah diperhadapkan pada krisis identitas yang tak bisa dibohongi, dampaknya sangat besar sekali, ujarnya. Realitas yang ditemui pada generasi muda saat ini adalah kurangnya penghargaan pada jati dirinya sesuai ciptaan Tuhan yang menjadikan kulitnya hitam rambut keriting.
Yang terjadi dimana mana anak-anak Papua saat ini, berusaha mengubah bentuk fisik dasar dalam rambut yang berusaha dilolongkan, ditarik bahkan dicat kuning seperti kus kus pohon saja, inikan, orang tak tahu menghargai diri sendiri.
Ia melihat perubahan ini sebagai bagian dari ancaman budaya kita dan bagian dari tanda-tanda degradasi. Ia mencontohkan sebuah kasus yang nampak menonjol dalam budaya orang Papua sehubungan dengan pembayaran mas kawin atau mahar. Dulu komunitas masyarakat adat Papua melakukan pembayaran mas kawin dalam iring-iringan orang pegang piring tanpa memakai bendera merah putih, namun yang nampak sekarang adalah pembayaran mas kawin dengan iring-iringan bendera merah putih dan piring-piring mas kawin.
 “Siapa yang kasih tahu kamu kalau itu adat orang Papua. Dulu Tete dorang tara pakai bendera belanda antar mas kawin”, ujarnya tegas menirukan apa yang pernah dibuat orang tua dulu. Mas kawin menurut adat Papua diantar ke rumah perempuan tanpa embel-embel bendera. Ia mengakui, degradasi budaya dimulai ketika negara ini masuk dalam era reformasi. Reformasi membawa perubahan dimana relasi budaya turut dipengaruhi oleh yang namanya kebebasan yang turut membawa perubahan cukub drastis.
Namun bukan berarti itu awal, degradasi budaya di Papua itu terjadi sejak integrasi sampai-sampai yang lebih sadis dijumpai pada perubahan pola relasi  dunia politik. Generasi Orang Papua muda yang terjun ke dunia politik saat ini kehilangan identitas diri sebagai sesama saudara, tak ada penghargaan pada sesama saudaranya sendiri.
Padahal adat istiadat kita tak mendidik kita untuk melupakan saudara meski seseorang statusnya berubah. Ketika hal itu tak diubah akan terbawa secara struktural dan memang sudah terjadi bahwa relasi persaudaraan kakak beradik diputar balikan yang kakak jadi adik yang adik jadi kakak. Kalau seorang adik kepalanya botak statusnya tetap adik dan tak bisa dipanggil kakak karena kepalanya botak, katanya mencontohkan.
Ia mengingatkan, jangan merubah-rubah apa yang telah digariskan, ketika kita merubah apa yang digariskan termasuk juga merubah adat keturunan kita. Satu hal disinggung terkait budaya mabuk, sekarang orang bilang siapa tukang mabuk, pasti konotasinya ke orang Papua. Kita ini bukan tukang mabuk, siapa yang menciptakan itu. Ia menegaskan mabuk merupakan konotasi negatif yang diposisikan dalam rangka memecah belah Orang Papua.
“Saya kadang tak percaya, ketika menemui seorang anak muda Papua yang bersekolah tinggi, namun ketika dia mabuk, saya tanya dan dia jawab saya mahasiswa, kenapa kau mahasiswa tidak tahu adat begitu, mahasiswa lupa diri. Karena orang mabuk itu bukan hal yang baik. Jadi banyak hal dalam kehidupan kita ini yang mulai bergeser dalam kehidupan harian. Contoh menyedihkan lainnya terangnya adalah, ketika seseorang menjadi pejabat tegur sapa sudah tak berlaku, orang tak lagi menganggap tegur sapa bagian dari hidup saling menghormati dan menghargai orang lain, orang melihat sesamanya seperti sampah”
“Padah kita atau pejabat harus paham bahwa kita ini budak bagi rakyat, bagi sesama yang menyapa kita. Bupati, Gubernur, DPR, MRP kita ini budak bagi rakyat, bukan tuan. Tegur sapa merupakan satu nilai budaya yang luntur akibat keegoisan orang. Sikap ini menunjukkan sikap manusia tak berbudaya,” terangnya panjang lebar.(ven/don/l03/@dv)

source: Bintangpapua.com

Masa Depan Papua: Kebudayaan, Sosial, Ekonomi dan Politik.


Tanah Papua sangat kaya, tembaga dan emas merupakan sumber daya alam yang sangat berlimpah yang terdapat di Papua. Papua terkenal dengan produksi emasnya yang terbesar di dunia dan berbagai tambang dan kekayaan alam yang begitu berlimpah. Papua juga disebut-sebut sebagai surga kecil yang jatuh ke bumi. Papua merupakan surga keanekaragaman hayati yang tersisa di bumi saat ini. Pada tahun 2006 diberitakan suatu tim survei yang terdiri dari penjelajah Amerika, Indonesia dan Australia mengadakan peninjauan di sebagian daerah pegunungan Foja Propinsi Papua Indonesia.[1] Di sana mereka menemukan suatu tempat ajaib yang mereka namakan “dunia yang hilang”,dan “Taman Firdaus di bumi”, dengan menyaksikan puluhan jenis burung, kupu-kupu, katak dan tumbuhan yang belum pernah tercatat dalam sejarah. Bumi Papua atau Bumi Cenderawasih memang subur dan kaya mulai kekayaan bahari, kebudayaan, emas, tembaga dan mineral lainnya.  Provinsi Papua yang terletak di ujung timur negara Indonesia memiliki banyak kebudayaan yang unik dan menarik,  seperti alat musik tradisionalnya, tarian tradisional, rumah tradisional, pakaian dan kesenian lainnya yang terdapat di Papua. Namun kehidupan masyarakat papua tidaklah sekaya potensi alam dan kebudayaan yang mereka miliki. Jika dikelola dengan baik, mungkin orang Papua pun bisa lebih makmur dengan kekayan alam yang melimpah tersebut.

Papua hadir dalam sejarah Indonesia sejak 1 mei 1963, sejak sejarah bergabungnya tanah papua kedalam NKRI, daerah ini terus mengalami guncangan dan pertumpahan darah. Banyak solusi yang telah diajukan dan dicoba untuk dilaksanakan oleh pemerintah maupun lembaga lainnya. Tetapi masalah yang dialami masyarakat papua bukan terurai dan terselesaikan melainkan menjadi lebih kompleks. Minimnya koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah Papua yang disebabkan oleh perbedaan cara pandang, pemerintah pusat didominasi oleh kebijakan yang sentralistis yang dinilai pemerintah papua tidak menguntungkan bagi mereka. Pemerintah pusat senantiasa mengedepankan kebijakan nasional yang bertujuan untuk menjaga integrasi wilayah NKRI. Namun pandangan dan realisasi tersebut tidak sesuai. Pemerintah pusat melakukan penetrasi kekuasaan terlampau jauh terhadap daerah-daerah, sementara telah ada otonomi daerah dan otonomi khusus bagi provinsi Papua. Dalam penetrasi kekuasaan tersebut Nampak seolah-olah pemerintah pusat ingin menguasai setiap jengkal tanah papua. Sehingga masyarakat asli merasa dirinya sebagai tamu yang tersingkir ditanah kelahirannya sendiri.

Eksploitasi kekayaan alam papua oleh pemerintah dengan alasan yang tidak masuk diakal. Misalnya saja, Freeport adalah lahan sangat empuk bagi segelintir pejabat, para jenderal dan juga para politisi busuk negeri ini, yang menikmati hidup bergelimang harta dengan memiskinkan bangsa ini. Para petinggi Freeport sudah mempunyai kontak dengan tokoh penting di dalam lingkaran elit Indonesia. Mereka adalah Menteri Pertambangan dan Perminyakan Ibnu Soetowo dan Julius Tahija. Orang yang terakhir ini berperan sebagai penghubung antara Ibnu Soetowo dengan Freeport. Ibnu Soetowo sendiri sangat berpengaruh di dalam angkatan darat karena dialah yang menutup seluruh anggaran operasional mereka.

Sebagai suatu daerah yang bergabung kedalam Republik Indonesia setelah delapan belas tahun Indonesia merdeka yang tidak memiliki komunikasi yang cukup intensif dengan daerah-daerah lain, maka sangat wajar bila masyarakat papua menjadi suatu daerah yang terisolir dan tertinggal. Minimnya komunikasi anatara pemerintah pusat dan masyarakat Papua disebakan oleh dua hal, pertama, pemerintah beranggapan bahwa komunikasi dan dialog dengan masyarakat papua tidak penting, sebab pemerintah pusat menilai masyarakat Papua tidak memiliki kebudayaan. Hal yang dianggap penting oleh pemerintah pusat adalah bagaimana membuat masyarakat Papua diajari mengenai “adat” dan kebudayaan baru kemudian setelah mereka beradat dan beradab barulah akan diadakan komunikasi. Padahal menurut pandangan antropologi, setiap suku bangsa di dunia pasti memiliki kebudayaan yang mewarnai atau menjadi referensi berfikir bagi kelompok suku bangsa tersebut. Oleh karena itu perlu adanya pengakuan atas kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat Papua. Komunikasi dengan masyarakat Papua sangat penting sebagai sarana transformasi sekaligus articulasi aspirasi dan keinginan rakyat. Proses komunikasi yang berbasis pada aspek kebudayaan lokal maka akan lebih efektif untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapi oleh mereka. Kedua, pemerintah pusat menganggap komunikasi dapat menjadi factor penghambat dalam pengambilan keputusan. Hal itu tercermin dari sikap pemerintah yang menolak dialog dengan masyarakat Pupua. Penolakan pemerintah disebabkan oleh rasa khawatir bahwa apabila rakyat berada dalam forum dialog mereka menyampaikan aspirasi merdeka.[2]

Dilihat dari segi budaya, budaya yang dimiliki Papua saat ini memang masih tertinggal. Tertinggal disini berarti mereka masih tergolong masyarakat tradisonal. Dengan budaya primitif yang mereka lakukan setiap hari, dimana dalam kehidupan sehari-hari sebagian besar rakyat Papua masih beraktifitas secara tradisional. Menurut saya ini bukanlah suatu kesalahan penuh dari pemerintah saja. Tetapi karena sulitnya merubah budaya asli Papua yang sudah tertanam kuat dalam masyarakat Papua. Keterbelakangan mereka mungkin disebabkan karena sejarah Papua sendiri. Papua berbeda dengan Jawa, sejak ratusan tahun lalu Jawa telah terjajah oleh bangsa asing yang pastinya membawa budaya modern Eropa mereka. Sedangkan Papua yang terletak diujung timur Indonesia baru 1900-an dimasuki bangsa Belanda, dimana pada tahun yang sama Jawa telah dijajah bangsa Belanda satu abad lebih. Disini bangsa Jawa selama seabad lebih itu telah berinteraksi dengan bangsa asing dan budaya modern mereka. Selama bertahun-tahun mereka telah berinteraksi dan menerima budaya modern dan hal itu sangat berpenagruh pada masyarakat saat ini yang lebih bisa menerima budaya-budaya baru yang modern. Sedangkan di bumi Papua masyarakatnya baru mulai mengenal bangsa asing dengan budaya modernnya baru tahun 1900-an. Dengan waktu yang singkat ini sangat mungkin mereka tidak semudah masyarakat Jawa dalam penerimaan budaya modern. Kita dapat lihat keadaan Papua sekarang ini.

Menurut saya budaya Papua tidaklah perlu dirubah menjadi budaya yang modern, namun perlu adanya penambahan budaya yang lebih modern tanpa mengganggu proses dinamika budaya Papua. Perlunya mempertahankan budaya lokal ini bertujuan agar kekhasan Papua tetap terjaga dan tidak hilang begitu saja seperti budaya-budaya lokal Indonesia lain yang tertelan gelombang modernisasi. Budaya Papua janganlah sampai punah, dimana kita dapat memanfaatkan budaya lokal yang unik ini sebagai lahan dollar pemerintah dan masyarakat Papua. Dengan pengembangan potensi wisata Papua dari segi budaya Papua yang unuk dan eksotik itu. Ini bisa menjadi pilihan alternatif pengembangan kesejahteraan penduduk Papua yang sebagian besar masih banyak berada di bawah garis kemiskinan.

Ada beberapa gagasan yang ingin saya paparkan sebagai alternatif solusi dalam pembangunan Papua kedepannya, pertama saya menyarankan agar dibuat master plan pembangun Papua baik pembangunan jarak pendek maupu pembangunan jangka panjang secara keterbutuahan Papua. Kedua saya lebih menyoroti pada pengembangan Papua sebagai sebuah wilayah yang modern tanpa meninggalkan budaya Papua secara persuasif. Sedangakan yang ketiga menigkatkan kesejahteraan masyarakat Papua dengan memanfaatkan SDA Papua yang kaya.

Mengenai pembangunan jangka pendek dan jangka panjang, saya berpendapat bahwa penyusunan draft rencana pembangun  tersebut jangan hanya menggunakan para ahli-ahli saja. Namun penyusuna tersebut perlu juga kiranya melibatkan tokoh-tokoh masyarakat dari tiap kabupataen/kota di Papua. Tentunya para tokoh-tokoh masyarakat itu lebih tau kebutuhan dan keinginan masyarakat Papua. Mekanisme perumusannya ialah dari setiap tokoh di kabupaten/kota yang telah menampung aspirasi rakyat berkumpul dalam sebuah forum bersama bebrapa ahli untuk merumuskan pokok-pokok rumusan pembangunan dari kabupaten/kota tersebut. Setelah pokok-pokok rumusan dari kabupaten/kota tersebut tercapai maka perwakilan tokoh masyarakat dari tiap kabupaten/kota melakukan pertemuan dalam sebuah forum tingkat provinsi bersma ahli-ahli untuk merumuskan pokok-pokok pembangunan Papua. Dari hasil forum tingkat provinsi yang telah disepakati kemudian diajukan ke pemerintah pusat untuk digodok ulang dan disempurkan. Kenapa harus pemerintah pusat yang mengurusi, dikarenakan saya beranggapan pemerintah daerah Papua belum profesional dalam menjalankan pemerintahan yang berkerakyatan. Dimana pemerintah daerah banyak menganggurkan uang dari pemerintah pusat yang jumalahnya tidak sedikit. Hendaknya mereka memanfaatkan dana yang melimpah itu, bukannya menmbungakan uang tersebut di bank.

Membangun Papua menjadi modern tanpa meniggalkan budaya lokalnya mungkin terlihat cukup sulit dilakukan. Namun bila ada kemauan dari seluruh stakeholder maka hal itu bukan hal yang tidak mungkin terjadi. Saya memiliki gagasan bahwa perlu adanya penelitian yang dilakukan pemerintah mengenai budaya dan beberapa hal dari Papua. Ini penting dalam pemebentukan konsep modernisasi Papua tanpa menghilangkan budaya lokal. Penelitian ini menurut saya hendaknya dilakukan oleh beberapa ahli antropologi, budaya, soisologi, geografi, sejarah, kedokteran, psikologi, pendidikan, dan beberapa ahli yang berhubungan. Hasil penelitian dari gabungan ahli-ahli itu dapat menjadi bahan perencanaan modernisasi Papua tanpa menghilangkan budaya lokal. Ini sangat penting mengingat kondisi Papua tentunya sangat berbeda dengan wilayah Indonesia yang lain, sehingga perlu dilakukan kajian secara mendalam.

Mengenai penigkatan kesejahteraan masyarakat dengan SDA Papua sangatlah mungkin dilakukan. Mengingat SDA Papua yang melimpah dan masih banyak yang belum diberdayakan secara maksimal. Mungkin sedikit hambatan dalam penyuluhan kepada masyarakat karena terbatsnya pendidikan masyarakat Papua. Namun hal itu dapat diatasi bila dalam penyuluhan mengenai pemanfaatan SDA itu dilakukan menggunakan adat istiadat dari setiap wilayah, serta melibatkan tokoh masyarakat setempat. Penyuluhan ini mungkin akan cukup berhasil, mengingat masyarakat Papua masih sangat mengahargai para tokoh masyarakat mereka. Perlu komunikasi intens antara pemerintah dengan para tokoh masyarakat agar tokoh masyarakat tersebut bersedia mengkomunikasikan program pemerintah tersebut.

Dari keseluruhan pemaparan solusi alternatif itu saya beranggapan bila program-program itu dijalankan dengan baik oleh semua pihak yang terkait, tidak ada kata mustahil tanah Papua akan menjadi sebuah daerah yang makmur selayaknya di Jawa. Dukungan materil dan non-materil dari pemerintah sangatlah diperlukan dalam susksesnya suatu program pembangunan. Dari pihak masyarakat sendiri juga diperlukan dalam hal dukungan dan pengawasan demi terlaksananya suatu program pembangunan yang sesuai dengan target.

Peran para sosiolog dalam pembangunan Papua sanagtlah besar. Mereka dapat nmemberikan sumbangsih dalam berbagai hal. Sosiologi sebenarnya sangat diperlukan dalam proses pembangunan Papua. Pemerintah hendaknya menggandeng para Soisolog untuk membantu pemerintah dalam penyusuna rencana pembangunan di Papua. Lebih baik lagi jika pemerintah memfasilitasi para Sosiolog Indonesia untuk melakukan penelitian di Papua. Penelitian ini tidak hanya di pedalaman Papua saja, namun hendaknya dilakukan di kota-kota juga. Dimana nantinya dapat dikethui perilaku dari penduduk Papua secara keseluruhan. Jadi dalam menentukan suatu kebijakan nantinya pemerintah tidak salah sasaran dan lebih solutif.

DAFTAR PUSTAKA

Arge, Rahman. 2008. 200 Pilihan Permainan Kekuasaan. Jakarta: Kompas Media             Nusantara.

da Ir , Ans Gregory. 2008. Dari Papua meneropong Indonesia: darah mengalir di             bumi Cendrawasih: catatan dan pikiran seorang wartawan. Jakarta:        Grasindo.

Drooglever, P.J. 2010. Tindakan Pilihan Bebas: Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri (penerjemah: Jan Riberu). Yogjakarta: Kanisius.

Kambu, Robert Menase. 2010. Jayapura Kota di Ujung Timur: Spesifik, Eksotik,    Unik & Menarik. Jakarta: Indomedia Global.

Manangsang, Jhon. 2007. Papua Sebuah Fakta dan Tragedi Anak Bangsa,             Pergumulan: Etika, Moral, Hukum, Sosial, Budaya, Kedokteran, SDM dan         Kemanusiaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Maniagasi, Frans. 2001. Masa Depan Papua: Merdeka, Otonomi Khusus dan         dialog. Jakarta: Millenium Publisher.

Widjojo, Muridan S, dkk. 2009. Papua Road Map: Negotiating the Post,    Improving the Present and Securing the future. Jakarta: Yayasan Obor             Indonesia.

Yuniarti, Fandri dan Verdiansyah, Chris (ed). 2007. Ekspedisi Tanah Papua:         Laporan Jurnalistik KOMPAS. Jakarta: Kompas Media Nusantara.
-----------------------------------------------------------------------------
[1] Yuniarti, Fandri dan Verdiansyah, Chris (ed). 2007. Ekspedisi Tanah Papua: Laporan Jurnalistik KOMPAS. Jakarta: Kompas Media Nusantara. Hlm 5

[2] Maniagasi, Frans. 2001. Masa Depan Papua: Merdeka, Otonomi Khusus dan dialog. Jakarta: Millenium Publisher. Hlm 124.
Source: juwita.blog.fisip.uns.ac.id

Kearifan Lokal Papua yang Terabaikan


Oleh : Kornelis Kewa Ama

Jayapura, Papua memiliki keragaman keunikan khas daerah, seperti noken, saly, honay, koteka, ukiran, dan sebagainya. Meski kemajuan pembangunan dan informasi telah menempatkan keunikan-keunikan itu sebagai sesuatu ketertinggalan, tetapi memberi makna sebagai kearifan budaya dan tradisi lokal. Runyamnya, keunikan tersebut tidak mendapat perhatian dari pemerintah daerah setempat.

Wakil Ketua DPR Papua Paskalis Kosay di Jayapura mengemukakan, ada beberapa peralatan tradisional yang ditinggalkan nenek moyang dan masih bertahan sampai hari ini. Misalnya, noken (bahasa daerah Biak, artinya tas), keranjang yang digunakan kaum pria dan wanita di Papua. Noken merupakan salah satu bentuk aksesori yang paling diminati masyarakat.

“Tidak hanya masyarakat pedalaman, tetapi para pejabat dan kaum intelektual pun memiliki noken (tas) untuk menyimpan buku dan barang kebutuhan lain,” papar Kosay beberapa waktu lalu.

Noken terbuat dari tali hutan (kayu) khusus yang tidak mudah putus, seperti rotan atau pohon lainnya. Noken mengalami perkembangan cukup bagus dibandingkan dengan fasilitas tradisional lainnya. Setelah noken dianyam, diberi warna-warni sehingga berpenampilan lebih memikat pemilik. Noken dihargai antara Rp 15.000 – 100.000 per buah.

Saat ini noken lebih banyak ditemukan di Paniai. Daerah ini dikenal sebagai gudang noken. Namun, penduduk setempat menyebutnya agiya. Di Paniai dikenal enam jenis agiya, yakni goyake agiya, tikene agiya, hakpen agiya, toya agiya, kagamapa agiya, dan pugi agiya.

Kepala Bagian Tata Usaha Dinas Pariwisata Kabupaten Paniai Thomas Adi menyebutkan, jenis-jenis agiya ini dibedakan sesuai bahan, bentuk, warna, dan pemakaian dalam suku.

Di Paniai dikenal ada lima suku, yakni Mee menguasai goyage agiya, suku Dani menguasai tikene agiya dan hakpen agiya, suku Ekari menguasai jenis toya agiya, suku Nduga memiliki kagmapa agiya, dan suku Moni menguasai pugi agiya. Tetapi, belakangan ini hampir semua jenis agiya menyebar tanpa batas suku, agama, dan warna kulit. Bahkan menyebar sampai ke seluruh Papua.

Noken atau agiya ini bagi perempuan di pedalaman biasa digunakan menyimpan anak bayi, babi, umbi-umbian, sayur, dan pakaian. Sering terlihat di dalam sebuah noken dengan tali digantung di bagian kepala mengarah ke bagian punggung dan belakang perempuan. Di dalam noken/agiya ini kadang-kadang disimpan bayi dan di sampingnya diletakkan umbi-umbian dan sayur-sayur.

Bahan dasar agiya, yakni kulit kayu dan anggrek. Daerah Pegunungan Tengah terkenal dengan berbagai jenis anggrek hutan. Namun, anggrek-anggrek ini belum dikenal dan diidentifikasi secara teratur. Tanaman anggrek sendiri belum dibudidayakan oleh masyarakat Papua. Padahal, anggrek dapat meningkatkan kesejahteraan. Beberapa warga pendatang mencoba mengumpulkan jenis-jenis anggrek Papua dan mengikuti sejumlah pameran di luar Papua, sehingga menjadikan anggrek sebagai sumber hidup utama.

Di Sentani, Kabupaten Jayapura, noken disebut holoboi, sedangkan noken besar untuk kaum bangsawan disebut wesanggen. Saly, pakaian bawahan perempuan suku Dani, di Pegunungan Tengah Papua, terbuat dari serat kayu atau serat pelepah pisang. Batang serat (pelepah) pisang dihaluskan kemudian diiris dalam bentuk tali-tali panjang, dikeringkan, kemudian dirajut menyerupai pakaian bawahan perempuan. Belakangan bahan dasar saly dari benang dan kulit kayu berkualitas.

Seorang perempuan suku Dani mengenakan saly pada usia lima tahun. Bagian atas tidak ada pakaian khusus. Bagi anak-anak gadis saly yang sama juga sering digunakan untuk menutup bagian dada. Tetapi, bagi kebanyakan kaum ibu, bagian atas (dada) sengaja tidak tertutup dengan maksud dengan mudah menyusui sang bayi.

Selain itu, Papua juga memiliki rumah tradisional yang disebut honay. Rumah tradisional suku-suku di Pegunungan Tengah ini berbentuk lingkaran dengan diameter 3-5 meter, dengan bagian atap berbentuk kerucut. Ada honay khusus untuk ternak babi, ada honay khusus untuk kaum pria, dan honay khusus untuk kaum wanita.

Ruangan dalam honay yang sengaja dibangun sempit serta tidak memiliki ventilasi (jendela) ini bertujuan untuk menahan hawa dingin. Daerah Pegunungan Tengah, seperti Puncak Jaya (5.030 m) dan Paniai memiliki suhu sampai 5 derajat Celsius. Guna mengatasi udara dingin itu, orang-orang pedalaman terpaksa membuat honay setinggi sekitar 2,5 meter, dan di dalam honay itu dipasang api unggun untuk menghangatkan badan.

Tetapi, dalam perkembangan terakhir seiring kemajuan pembangunan di daerah itu, sejumlah alat-alat tradisional Papua di atas mulai dipadukan dengan beberapa pakaian hasil produksi pabrik. Misalnya, saly dipadukan dengan celana pendek, bra, dan pakaian perempuan jenis lainnya.

Di kalangan perempuan terpelajar di Pegunungan Tengah, pakaian perempuan tradisional ini tidak lagi digunakan. Bahkan, perempuan suku Dani pun sudah sangat jarang terlihat mengenakan saly kecuali pada upacara adat tertentu.

Pemerintah daerah setempat menganggap, noken, saly, koteka, busur panah, umbi-umbian, dan sejumlah keunikan lain di Pegunungan Tengah adalah suatu simbol “keterbelakangan”. Karena itu, tidak ada perhatian serius dari pemda setempat untuk melestarikan keunikan-keunikan tersebut. Bahkan, ada upaya pemda menghapus keunikan itu karena dinilai sebagai bagian dari ketertinggalan pembangunan.

Belum ada satu konsep terpadu bagaimana mempertahankan sejumlah keunikan ini sambil terus meningkatkan pembangunan, kemajuan dan kesejahteraan di kalangan masyarakat pedalaman. Seharusnya, keunikan–keunikan Papua tidak harus dikorbankan demi pembangunan atau sebaliknya.

Pengalaman menunjukkan, ketika pemerintah menganggap bahwa makanan sagu di kalangan orang Papua tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan harus dimusnahkan, ternyata pandangan itu terbukti tidak membawa kemajuan berarti bagi orang Papua. Sejumlah lahan sagu telanjur dibasmi, tetapi pertanian modern seperti padi sawah tidak pernah dikembangkan di kalangan orang Papua sejak 40 tahun terakhir ini.

Sumber : Kompas.com

APRESIASI SENI LUKIS BENDA MUSEUM BUDAYA PAPUA


Jayapura, 24/10/2013. Balai Pelestarian Nilai Budaya Jayapura-Papua menyelenggarakan Kegiatan Apresiasi Seni Lukis Benda Museum Budaya Papua Tingkat SLTP se-Kota/Kab Jayapura Tahun 2013.


Kegiatan ini dilaksanakan di Aula Museum Negeri Provinsi Papua, Jayapura Senin, 24 Oktober 2013.
Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya Jayapura-Papua (BPNB Jayapura-Papua) dalam hal ini diwakili oleh Kepala Taman Budaya Papua Alosius Nafurbenan, mengatakan bahwa kegiatan ini dilaksanakan dengan tujuan meningkatkan kreatifitas siswa di bidang seni sekaligus menanamkan atau memperkenalkan seni budaya papua yang ada di Museum Negeri Provinsi Papua dan sekaligus mengajak siswa sebagai generasi muda untuk mengenal lebih jauh tentang Budayanya sendiri, sehingga diharapkan nilai-nilai budaya lokal yang dimiliki dapat berakar budaya bangsa, dan pengembangan sikap kompetitif dalam diri siswa yang berwawasan global. Selain itu juga membangun sumber daya manusia Indonesia yang mengarah ke pembentukan manusia seutuhnya dan dapat memberikan kontribusi besar pembentukan jati diri yang berakar pada budaya bangsa.

Kegiatan ini melibatkan Peserta sebanyak 100 siswa SMP dengan 12 pendamping. Dalam kegiatan Apresiasi Seni Lukis Benda Museum Budaya Papua, peserta di ajak melihat langsung benda-benda budaya koleksi Museum Negeri Provinsi Papua dan selanjutnya ditungakan dalam lukisan yang dibuat. Dari hasil lukisan-lukasan yang buat oleh siswa-siswi ini dinilai oleh beberapa juri antara lain Drs. Paul Yaam (Mantan kepala Museum), Sukardi (Mantan pegawai Museum) dan Theo Yepese (Budayawan). Pemenang Apresiasi Seni Lukis Benda Museum Budaya Papua mendapatkan hadia yang disediakan oleh panitia berupa, Tropi, piagam dan Tabanas. Yang keluar sebagai juara pertama dalam kegiatan ini adalah Gergorius Don Borys siswa dari SMP YPPK Bona Ventura Sentani dengan hasil lukisan kulit kayu yang merupakan budaya khas Tanah Tabi.

source: www.kebudayaan.kemdikbud.go.id

Bendera Bintang Kejora Berkibar di Papua

Senin, 01 Juli 2013


Jayapura, ON : Bendera Bintang Kejora kembali berkibar di Papua. Pengibaran bendera tersebut diklaim untuk memperingati hari ulang tahun (HUT) proklamasi kemerdekaan Papua setiap 1 Juli.

 Upacara peringatan berlangsung di hutan perbatasan Republik Indonesia dengan Papua Nugini, Senin (1/7/2013), dipimpin Koordinator Umum Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPN), Lambert Pekikir. Sekitar 50 anggota TPN-OPM hadir dalam upacara tersebut, 20 anggota di antaranya memegang senjata. Upacara yang dimulai pukul 06.00 WIT berlangsung singkat.

Selain itu, bendera Bintang Kejora juga dikibarkan di Kampung Wandegobak oleh kelompok Rambo dan juga di belakang Mapolres Puncak.

Seusai upacara, Lambert menyatakan pengibaran bendera tersebut merupakan bukti bahwa pihaknya terus berjuang untuk merdeka. “Upacara ini wujud syukur di tanah kami. Kami masih terus berjuang untuk kedaulatan kami,” ujarnya.





Tembak Pendeta, Oknum TNI Dituntut 15 Tahun Penjara

Kamis, 07 Maret 2013

ilustrasi











JAYAPURA - Seorang oknum anggota TNI di Papua dituntut 15 tahun penjara dalam sidang Mahkamah Militer III-19 Jayapura, Papua, Kamis (7/3/2013) siang. Anggota Kodim 1711, Bovendigul, Sertu Irfan dinyatakan terbukti menembak pendeta, Frederika Metalmety pada 21 November 2012.

Akibat perbuatannya itu, Irfan juga dipecat dari institusinya. Oditur Militer, mayor LKH Yuli wibowo dalam persidangan menuturkan dari keterangan tujuh orang saksi Irfan terbukti melanggar Pasal 338 KUHP.

Keterangan saksi dalam persidangan memperkuat hasil visum dokter di RSUD Bovendigul. Korban terkena luka tembak sebanyak dua kali dan mengalami luka lebam di kepala.

Sidang dengan agenda pembacaan tututan itu dipimpin oleh hakim Ketua Letkol (Sus) Priyo Mustika. Hadir dalam kesempatan itu sejumlah keluarga korban.

Tante korban, Rum Metarmey mengaku sedih dengan perbuatan Irfan yang tega membunuh saudaranya itu dengan cara biadab. Dia berharap kepada hakim supaya menghukum Irfan seberat-beratnya. Dia sempat tidak terima dengan tuntutan 15 tahun penjara. 

Frederika Metalmety, seorang pendeta di Gereja Betlehem Pantekosta, di Kabupaten Bovendigul ditemukan tewas di Jalan Trans Papua, tak jauh dari pos polisi Kalimak, Distrik Mandobo pada Rabu 21 November 2012 lalu.

Korban yang dikenal dengan nama pendeta Rika, ditemukan dengan dua luka tembak di pelipis kanan dan di bahu kanan hingga tembus ke belakang. Saat itu korban dikabarkan sedang mengandung enam bulan.

Source; news.okezone.com

TINGKAT PERJUANGAN WEST PAPUA TIDAK AKAN MATI

Pemikiran Indonesia dengan pendekatan kesejateran dan pedekatan pembangunan kemanan kesejateraan Indonesia terus akan di pertahankan sampai titik darah penghabisan. kesejateraan yang mereka dengung2kan seperti kata mereka "orang papua berontak karena kersejateraan". ini hanya pemikiran menyelipkan duri dalam daging orang papua.

Karena pemberian otonomi khusus Papua bukanlah suatu solusi perdamaian bagi rakyat papua dengan iming2 kesejateraan rakayat papua, karena dengan meberikan otnomi khusu UU NO.21 tersebut orang papua akan berhenti menyuarakan Papua merdeka. apakah benar?? perlu di pertanyakan karena solusi penyelesaian papua bukan terletak pada pemerian otonomi khusus hasil paksaan pemerintah pusat kepada Papua, dengan membentuk 2 parlamen di papua ada DPRR-P dan ada MRP yang semuanya saling bertolak belakang.

sebapnya Otonomi khusus bukan solusi pernyelesaian konflik Pelangaran HAM di Papua, karena utukl menyelesaikan konfli papua perlu ada rekonsiliasi penyelesaian maslah papua. karena otonomi bukan solosi karena faktor yang menyebapkan ketidakcocokan berada pada tataran Idelogi dan sejarah perjuangan Bangsa papua.

selama Presiden SBY Susilo Bambang Yudoyono tak menyelesaiakn persoaln Papua ini, indonesia akan selalu di liputi ketakutan politik disintegrasi karena papua perjuangan papua, militansi perjuangan yang susah di prediksi dan di tenangkan. karena penyelesaian papua bukan obat penenang, tapi perlu penyelesaian persoaln Papua yang utuh ketenangan Indonesia dalam menyelesaiakn persoaln Papua.

sekuat apapua Indonesia perjuangan indonesia mempertahankan mereka akan gelisah dan ketakutan papua akan lepas dari Indonesia dalam bayangan Indonesia. perjuangan tak akan pernah mati.


Source; FB/Kristian Papua

Masyarakat Papua Diimbau tidak Tergiur Beli Senjata

Rabu, 06 Maret 2013


Jayapura (Antara News) - Ketua Sinode KINGMI Papua, Pendeta Beny Giay mengimbau dan meminta kepada warga masyarakat yang ada didaerah tersebut agar tidak tergIur untuk membeli senjata dan amunisi yang ditawarkan oleh pihak-pihak yang ingin menghancurkan perjuangan dialog damai Papua.

"Kami juga mengimbau kepada warga masyarakat supaya waspada terhadap semua pihak yang menawarkan senjata dan amunisi untuk menyelesaikan masalah Papua," kata Beny Giay saat bersama Pendeta Socrates mengeluarkan tujuh seruan terkait kekerasan didaerah tersebut, di Jayapura, Papua, Rabu.

Menurut dia, jalan kekerasan dengan menggunakan senjata dan amunisi tidak akan menyelesaikan masalah Papua. "Pembelian senjata dan amunisi tidak akan menyelesaikan masalah Papua, ini malah sebaliknya memberi kekuatan kepada negara untuk menghabiskan Papua, jadi mari kita hentikan proses-proses pemusnahan etnis kita sendiri," katanya.

Ia juga meminta kepada warga masyarakat agar lebih proaktif terkait peredaran senjata ilegal di Papua. "Kalau bisa kita menolak dan melaporkan kepada pihak yang berwajib, siapa-siapa yang menawarkan senjata dan amunsi," katanya.

"Jadi sekali lagi senjata yang kalian (warga masyarakat,red) beli itu dengan jutaan rupiah lebih bagus menyekolahkan anak-anak," sambungnya.

Pendeta Beny juga mengatakan, hal itu telah disampaikan kepada Kapolda Papua, Irjen Pol Tito Karnavian agar mengusut tuntas peredaran senjata dan amunisi ilegal didaerah tersebut.

"Saya sudah sampaikan hal ini lewat pesan singkat kepada Pak Tito pada hari Minggu (3/3) kemarin sebelum pergi gereja," katanya. (Editor : N Sunarto)

Source: antara-sulawesiselatan.com

Gugatan Pilgub Papua Ditentukan Minggu Depan

Penjabat Gubernur Papua drh. Constant Karma saat memberikan kesaksian di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Selasa (5/3) kemarin
JAKARTA-Sidang lanjutan perkara perselisihan Pemilukada Papua, kembali dilanjutkan di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Selasa (5/3)dengan agenda pembuktian pihak termohon atau KPU Papua.
  Sidang yang dipimpin langsung Ketua MK, Mahfud M.D ini, pihak termohon menghadirkan Penjabat Gubernur Papua, drh. Constant Karma dan Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib sebagai saksi.
 Penjabat Gubernur Papua, drh. Constant Karma, hanya memberikan keterangan sangat singkat. Dalam keterangannya, gubernur mengatakan bahwa Pemerintah Provinsi Papua telah menyerahkan Daftar Penduduk  Potensi Pemilih Pemilu (DP4) pada tanggal 2 Mei 2012 kepada KPU Provinsi Papua.
 Dalam penyerahan DP4 tersebut, telah dilakukan penandatanganan berita acara. “Dengan demikian, proses selanjutnya menjadi tanggungjawab dari KPU Papua,” katanya.
 Kepada wartawan usai memberikan keterangan saksi,  Penjabat Gubernur drh. Constant Karma, mengatakan bahwa tugasnya sebagai Pj Gubernur Papua bekerja pada wilayahnya. Ketika sudah ada kesepatakan antara Gubernur dan KPU, dan sudah ditandatangani berita acara DP4 serta penyerahan copy CD, maka tugas selanjutnya dan pekerjaan seterurnya ada di KPU.
 ''Pemerintah kan harus netral, jadi kalau bicara terkait pengawasan dan keamanan itu tugasnya ada di Panwaslu dan Bapak Kapolda. Kami pemerintah tidak bisa ikut campur, karena itu sudah salah dan dilarang dalam perundang-undangan yang berlaku,'' jelasnya.
 Diungkapkannya, Pemerintah Provinsi Papua akan tidak ikut campur dalam urusan Pilgub Papua. Pihaknya selaku penjabat gubernur adalah memberikan himbauan kepada masyarakat untuk taat kepada jadwal yang telah dibuat oleh KPU Papua, dan jangan lupa datang ke Tempat Pengumutan Suara (TPS) untuk menyampaikan hak suaranya.
 Sedangkan Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib dalam kesaksiannya menyatakan  bahwa KPU Papua telah melaksanakan tugasnya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, dan penggunaan Noken dalam Pilgub Papua juga sah, maka gubernur terpilih harus segera dilantik.
 Menurutnya, MRP sebagai perwakilan kultur perwakilan masyarakat tidak dapat memberikan penjelasan terkait dengan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Papua. MRP hanya dapat memberikan pertimbangan mengenai keaslian orang Papua, sebagai mana diatur dalam amanat Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua Tahun 2001.
 Beberapa saksi dari pihak termohon bersikeras mengatakan bila proses pemilukada berlangsung dengan aman tertib dan lancar, serta tidak ada kecurangan seperti yang dituduhkan pihak pemohon.
 Sementara, pihak pemohon tetap bersikeras bahwa telah terjadi kecurangan dalam proses pemilihan gubernur yang memenangkan pasangan nomor urut 3, yakni Lukas Enembe dan Klemen Tinal. Pemohon tetap meminta Pemilukada diulang.
 Usai mendengar pemaparan para saksi dari pihak termohon dan pemohon, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD merasa keterangan yang diberikan sudah cukup. Untuk itu tidak akan ada lagi sidang selanjutnya.
 "Sudah cukup keterangan dari saksi-saksi, karena hari Senin besok (11/3) sudah harus selesai diputuskan. Sekurang-kurangnya, kita butuh waktu tiga hari untuk memutuskan hasil sidang ini. Oleh karena itu sidang tidak akan dibuka lagi. Setelah ini, akan kami kumpulkan bukti-bukti," ujar Mahfud saat sidang berlangsung di ruang sidang MK, Jalan Merdeka Barat, Jakarta, Selasa (5/3).
 Selanjutnya Mahfud memberi batas waktu bagi para termohon dan pemohon untuk memberikan bukti-bukti kuat yang dirasa penting untuk menguatkan pernyataan mereka.
 "Besok pukul 2 siang, kesimpulan oleh 4 pemohon dan terkait supaya diserahkan pada pihak kepaniteraan MK di lantai 4. Karena besok, jam 3 sore kita sudah harus masuk dalam tahap putusan," jelasnya.
 "Kalau besok tidak diberikan, maka tidak akan kita masukkan. Jadi nanti hal-hal yang sifatnya penilaian, tidak perlu di utarakan di sini. Tapi, kasih data tertulis saja. Selanjutnya vonis akan diucapkan Senin sore," pungkas Mahfud sembari mengetok palu tanda ditutupnya sidang. (chi/jpnn/fud)


Source: cenderawasihpos.com

Summary of Events in West Papua for February 2013

Selasa, 05 Maret 2013


Australia West Papua Association (Sydney)
PO Box 28, Spit Junction, NSW 2088
Summary of events in West Papua for February 2013
Attacks On The Security Forces
An attack on the security forces on the 21 February resulted in 8 soldiers and 4 civilians killed in two separate incidents in Sinak and Tingginambut in the Puncak Jaya region. A helicopter trying to evacuate the bodies of the victims was also shot at the following day, injuring the pilots which halted the evacuation. Media coverage of the incidents and of West Papua itself has been ongoing (and causing outrage in the Indonesian press) with editorialshttp://www.thejakartapost.com/news/2013/02/28/editorial-aceh-way-papua.html and opinion pieces offering solutions. If President Yudhoyono opts for what he calls the welfare approach other government officials do not. Antara News reported that Indonesia`s Deputy Minister of Defense Sjafrie Sjamsoeddin said that the TNI will take a firm stand by conducting tactical action against the armed groups that killed the soldiers and civilians in Papua last week. "The tactical action includes to chase, apprehend and destroy". Statements such as this create fear in the West Papuan people who are well aware of what sweeping operations against so call separatists mean.
At first media reports referred to the attackers as unknown gunmen and Insp. Gen. Tito Karnavian’s linked the shootings to the recent regional elections although Goliath Tabun of the TPN denied this saying they TPN had “no interest in money or power and that it was purely fighting to achieve an independent Papua”. Anton Lego Obet Tabuni, secretary general of the TPN-OPM, told Suara Pembaruan in a phone call “We want to be fully independent,” and “We know that [we’re being chased],” Anton said. “We will not surrender and we will not back down even slightly in maintaining our ideology.
The security forces have also been building military posts in the region and encroaching close to OPM areas. Although the OPM are committed to peaceful ways forward they reserve the right to self defence and the protection of their people. AWPA is concerned that local people in the areas where the attacks against the Indonesian military occurred will suffer as security operations are conducted in the hunt for the perpetrators of the attacks. The attacks occurred in Sinak and Tingginambut in the Puncak Jaya District.
AWPA media release re the incidents at
AWPA letter to Senator Carr
Al Jazeera video report “Papua on alert after deadly attack on troops”
West Papua media has reported that a large security operation has begun to hunt for those responsible for the attacks on the military.
Urgent Actions
The Asian Human Rights Commission (AHRC) released a number of urgent actions concerning prisoners been tortured and which people can respond to.
Urgent Appeal Case: AHRC-UAC-025-2013
“Guards torture 20 prisoners at the Abepura Correctional Facility, Papua”.
The Asian Human Rights Commission (AHRC) has received information regarding the torture of twenty prisoners at the Abepura Correctional Facility, Papua, on 21 January 2013. Information gathered by local activists reveals that the torture was conducted by three prison guards with the acquiescence of the head of the prison. The victims were beaten with bare hands as well as whipped with thick wire until some parts of their bodies were bleeding. Despite the injuries suffered the prison guards did not give any medical treatment to the tortured prisoners.
Urgent Appeal Case: AHRC-UAC-024-2013
Seven Papuans are arrested and tortured on false allegations of having a relationship with pro-independence activists
The Asian Human Rights Commission (AHRC) has received information regarding the arbitrary arrest and torture of seven Papuans which took place on 15 February 2013. The victims were driving home in two cars when the police stopped them as they were looking for two pro-independence activists. The victims were later brought to the police station where they were further questioned on the whereabouts of the activists. They were severely beaten, kicked and electrocuted before being five of them were released without charge the next day. However, as at the time of writing two of the victims remain in police custody. http://www.humanrights.asia/news/urgent-appeals/AHRC-UAC-024-2013
Amnesty International also released an urgent action in relation to this incident at
Benny Wenda’s Freedom Tour
West Papuan leader Benny Wenda has been travelling on a freedom tour to raise awareness and concerns about the situation in West Papua. Benny has received great media coverage on his trip and in particular in New Zealand where thanks to the NZ speaker of parliament blocking his appearance at Parliament House.
The Indonesia Human Rights Committee also wrote to NZ Foreign Minister Murray McCully to condemn his failure to meet with West Papuan leader Benny Wenda. Letter and media reports at
http://awpasydneynews.blogspot.com.au/2013/02/1-ihrc-media-release-fact-finding.html On his trip around the world Benny met with representatives of human rights NGOs and politicians including at Parliament House in Canberra.
Tension on PNG border
There have been a number of incidents between the Indonesian military and PNG citizens in the border area .A report by Johnny Blades of RNZI at
In brief
RNZI posted at 02:44 on 25 February, 2013 UTC
A leading researcher on West Papua says last week’s fatal shootings in Puncack Jaya represent a serious escalation in tensions in Indonesia’s Papua region. Eight Indonesian soldiers and four civilians were killed in two separate shooting incidents in the remote Highlands regency, for which military chiefs have blamed the separatist OPM Free West Papua Movement. Following the shootings, Indonesia’s President Susilo Bambang Yudhoyono said the government would use a welfare-based approach rather than a military one to keep the peace in Papua. But Jim Elmslie of Sydney University’s West Papua Project fears the violence will grow.“The whole province of West Papua is highly militarised now which might well have helped to lead to this escalation in the conflict. Obviously, there are a lot more weapons floating around and more dark forces that are not under the government control or are conducting black operations. I think the President’s words probably don’t carry much weight in the jungles of West Papua.” Jim Elmsliehttp://www.rnzi.com/pages/news.php?op=read&id=74244
RNZI Posted at 01:40 on 28 February, 2013 UTC
Regional representatives in Indonesia’s Papua and West Papua provinces have strongly urged the government to cease military operations and withdraw special forces from the region. The Jakarta Post reports that the Regional Representatives Council, or DPD, says cessation of military operations is necessary to end the prolonged violence in Indonesia’s easternmost provinces.
Last week, eight Indonesian soldiers and four civilians were killed in two separate shooting incidents in Puncak Jaya regency. The DPD says the presence of elite forces within the Indonesian military has caused animosity among local groups who have launched attacks against them.
The DPD deputy chairman Laode Ida says if Jakarta wants to end violence, the militaristic approach has to stop. He says the presence of special forces and their irregular operations have triggered attacks on garrison troops and innocent civilians. http://www.rnzi.com/pages/news.php?op=read&id=74327
RNZI Posted at 09:03 on 26 February, 2013 UTC
The former Vanuatu prime minister Barak Sope says that the government should not accept security forces assistance from Indonesia.
The comment from one of Vanuatu’s outspoken leaders on the West Papuan self-determination issue follows a donation by Jakarta of a thousand police uniforms to Vanuatu’s Police Force. The donation was announced by the newly appointed Indonesian ambassador to Vanuatu, Nadjib Riphat Kesoem, who today presented his credentials to Vanuatu’s President, Iolu Johnson Abil. The ambassador presented a model of the Vanuatu Police Force uniform to the acting Prime Minister, Ham Lini.
Mr Sope says the assistance is unacceptable. “How can Indonesia help Melanesians in Vanuatu and other places when they’re also killing them, especially the military, killing Melanesians in West Papua? We cannot accept that.” Barak Sope says that Vanuatu should maintain its traditional support for the self-determination cause of West Papuan people.
RNZI Posted at 02:44 on 25 February, 2013 UTC
Papua New Guinea’s Defence Minister, Fabian Pok, says a two-million US dollar military aid grant from China will be spent on armoured cars, troop carriers and uniforms.
The grant follows Dr Pok’s talks with his Chinese counterpart General Liang Guanglie in Beijing last month and meetings there with exporters of military ware.
The visit comes as PNG plans a five fold increase in troops over the next decade.
Dr Pok says PNG will also ask China to help maintain swimming pools and gymnasiums at PNG’s military barracks.
“They want to be seen as not being too involved in our military issues here. China is also trying to export things like uniforms and armoured cars and all these things. So it’s also in the business interests of not the Chinese military but people who are building these things to market their products to countries like Papua New Guinea.”PNG’s Defence Minister Fabian Pokhttp://www.rnzi.com/pages/news.php?op=read&id=74243
Fears civilians may suffer in West Papua reprisal attacks
Submitted by stevenr on Thu, Feb 28, 2013 - 2:10pm
Supporters of the West Papuan independence movement in Australia are concerned civilians may be targeted in reprisal attacks after eight soldiers were shot dead in the Indonesian-occupied territory on February 21.

A report on the tragedy of HIV/AIDS in West Papua
by Michael Bachelard , Indonesia correspondent for Fairfax Media at

Papuans Behind Bars Update: January 2013
Papuans Behind Bars is a new project about political prisoners in West Papua. Our aim is to provide accurate and transparent data, published in English and Indonesian, to facilitate direct support for prisoners and promote wider debate and campaigning in support of free expression in West Papua. AWPA has posted details at

Two members of the OPM to face charges: Others are being hunted by police
Bintang Papua (27 February 2013) reported that two members of the OPM were arrested in Kampung Ayaigo, sub-district of Kebo, District of Paniai and will face charges in court. The police stated that the men were in possession of explosive materials and ammunition in violation of Emergency Law 12/1951 which allows a sentence, if convicted, of twenty years or life imprisonment. A policespokesperson, I Gede Sumerta Jaya, head of public relations of the Paniai chief of police, also said that the police were engaged in operations to find other persons on the 'wanted list' (DPO) for a series of actions such as shootings and other acts of violence that have been occurring in the area. These other persons were identified by the initials JY, SY and DY.
ENDS
Source: scoop.co.nz

komenta berita terbaru